MAKALAH
IMUNOHEMATOLOGI
& BANK DARAH
INKOMPATIBILITAS ABO
![]() |
Disusun
Oleh:
Anisa
Rahmawati
Ari
Kusdianto Saputra
Athea
Aprilianur
Dinda
Retno Sya’bani
Dita
Wulandari
Doni
Sulistiyono
Irma
Wulandari
Jemi
Lahang
Jeremia
Junius Paladang
Mohammad Ridwan
Monita Agustia Anyaq
Muhammad Kamil
Nugraha Syufiatma
Putri Kholifah
Reni
Tya Suryani
Uswatun Novitasari
PROGRAM
STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA
SAMARINDA

KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan. Ringkasan
materi ini bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam pemahaman tentang
“Inkompatibilitas ABO”. Kami sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dan kesalahan dalam menyusun materi ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan materi ini. Kami mengucapkan
terima kasih kepada bapak atas ide dan sarannya, serta menilai dan memeriksa
makalah ini. Dan pada akhirnya, semoga makalah ini mendapatkan keridhaan dari
Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi kami dan kepada semua pembaca.
Samarinda,
10 Juni 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................... i
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan............................................................................................... 2
BAB
II: PEMBAHASAN
A. Pengertian......................................................................................... 3
B. Penyebab.......................................................................................... 4
C. Manifestasi
Klinis............................................................................. 5
D. Patofisiologi..................................................................................... 6
E. Komplikasi....................................................................................... 8
F.
Diagnosis.......................................................................................... 9
G. Pemeriksaan
Penunjang.................................................................... 9
H. Penatalaksanaan............................................................................... 12
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkompatibilitas
ABO merupakan suatu keadaan akibat reaksi ikatan antara antibody dalam plasma darah dengan antigen pada sel darah
merah. Keadaan ini dapat di jumpai pada kesalahan memberikan transfuse darah
dari donor ke penerima dan ketidaksesuaian golongan darah ibu dan janinnya pada
waktu kehamilan. Inkompatibilitas ABO dalam kasus kesalahan memberikan
transfuse darah dapat mengakibatkan reaksi transfuse letal (lethal transfusion reaction), sehingga
membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat. Kasus inkompatibilitas pada
kesalahan transfuse sangat jarang ditemukan pada era kesehatan modern seperti
sekarang. Pengidentifikasian golongan darah donor dan penerima (crossmatch test) sudah memadai, selain
itu tuntutan sikap untuk disiplin dan berhati hati dalam memberikan pelayanan
kesehatan oleh praktisi kesehatan menghindarkan dari kelalaian dalam pemberian
tranfusi darah yang tidak sesuai dengan resepien.
Inkompatibilitas
ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah janin atau
neonates yang memendek akibat antibody ibunya. Inkompatibilitas ABO lebih
sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu golongan darah O.
angka kejadian dalam kasus ini lebih bermaksna dibandingkan dengan kehamilan
inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B. kehamilan inkompatibilitas ibu
golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40%
dari seluruh kehamilan.
Inkompatibilitas
ABO dalam keadaan ini dapat menyebabkan bayi kuning (ikterus) dan kadar
biliruin meningkat, jika ikterus pada bayi tidak mendapatkan penanggulangan
yang baik akan berakibat kernikterus (penimbunan bilirubin di sel sel otak),
yang berdampak keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (serebral palsy), tuli, dan bahkan
kematian.
Inkompatibilitas ABO
didapatkan sekitar 20-30% pada penderita ikterus neonatal dari berbagai ras.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa resiko kejadian PHN (Penyakit Hemolitik
Neonatal) – ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras
kulit putih. Di Afrika selatan ditemukan 47% dari penderita ikterus neonatal
disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Dalam masyarakat Indonesia, kelompok
golongan darah O merupakan persentase tertinggi dibandingkan kelompok darah
lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian AB. Di Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan
darah O melahirkan bayi golongan darah A dan B.
Inkompatibilitas
ABO sering ditemukan pada kasus ikterus neonatal, meskipun bermanifestasi
ringan sampai sedang jika tidak ditangani dengan segera dapat berakibat buruk
bagi kesehatan bayi. Pemahaman yang baik mengenai jenis inkompatibilitas beserta
gejala klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi kesehatan untuk dapat
membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga dapat pula menentukan
jenis terapi yang tepat guna bagi janin.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang Dimaksud dengan Inkompatibilitas
ABO?
2.
Apa saja Penyebab dan Gejala dari Inkompatibilitas
ABO
3.
Bagaimana Manifestasi Klinis dari
Inkompatibilitas ABO?
4.
Bagaimana cara Mendiagnosis dan
Pemeriksaan Inkompatibilitas ABO?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Inkompatibilitas ABO
2.
Untuk mengetahui apa saja Penyebab dan
Gejala dari Inkompatibilitas ABO
3.
Untuk mengetahui bagaimana Manifestasi
Klinis dari Inkompatibilitas ABO
4.
Untuk mengetahui bagaimana cara
Mendiagnosis dan Pemeriksaan Inkompatibilitas ABO
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Inkompatibilitas
ABO merupakan suatu kondisi sebagai akibat dari ketidaksesuaian golongan darah
antara ibu dan janin yang dikandungnya. (Ann Longsdon, 2012). Kondisi
inkompatibilitas terjadi pada perkawinan yang inkompatibel di mana darah ibu
dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan
antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang
pada waktu yang sangat awal secara misterius atau tiba-tiba, bahkan sebelum ibu
menyadari bahwa ia hamil (Suryo, 2005).
Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab dari penyakit hemolitik pada
neonatus yang biasanya terjadi pada janin dengan golongan darah A,B atau AB
dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang ditemukan pada golongan
darah O ibuadalah dari kelas IgG yang dapat menembus plasenta (Wagle, 2010).
Reaksi
hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas
sel darah merah (inkompatibilitas ABO).
Antibodi dalam plasma pasien
akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan
reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin
meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak
reaksi hemolisis intravaskular akut
adalah inkompatibilitas ABO.
Hal ini biasanya
terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh
darah dari pasien ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan
pemberian label pada
tabung dan ketidaktelitian
memeriksa identitas pasien
sebelum transfusi. Selain
itu penyebab lainnya adalah
adanya antibodi dalam
plasma pasien melawan antigen
golongan darah lain (selain
golongan darah ABO)
dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
B. Penyebab
(Etiologi)
1.
Inkompabilitas ABO pada Kesalahan
Tranfusi Darah
Kasus
hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena ketidaksesuaian
golongan darah antara penerima dan pendonor. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan
adanya reaksi penghancuran pada sel darah merah donor oleh antibodi penerima.
Keadaan ini disebut lethal tranfusion reaction (Joyce Poole, 2001)
Keadaan
ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti dalam memberikan transfusi darah
pada:
a. Golongan
A, B, atau AB kepada penerima yang bergolongan darah O
b. Golongan
darah A atau AB kepada penerima yang bergolongan darah B
c. Golongan
darah B atau AB kepada penerima yang bergolongan darah A (Joyce Poole, 2001)
2.
Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan
(Neonatus)
Kasus
hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari
golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan
darah O dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam
kelompok golongan darah O, terdapat antibodi anti-A dan anti-B (IgG) yang
muncul secara natural, dan dapat melewati sawar plasenta. Situasi ini dapat
juga disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta yang memisahkan darah
maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta, abruptio
placenta, trauma, dan amniosentesis. (Joyce Poole, 2001)
Tanda-tanda klinis :
1. Segera
:
Nyeri lumbal, nyeri
sternal dan nyeri di tempat masuknya darah, demam disertai menggigil dan
kekakuan, gelisah, mual, muntah, urtikaria, dispnea, dan hipotensi.
2. Lanjut
:
Perdarahan yang tidak
dapat diatasi, hemoglobinuria, oliguria sampai anuria, ikterus dan anemia.
Reaksi hemolitik dapat
juga terjadi akibat
penyimpanan darah yan kurang baik, darah kadaluwars atau darah yang sudah hemolisis karena terlalu
dipanaskan/terlalu didinginkan
C. Manifestasi
Klinis
1.
Inkompabilitas pada Kesalahan Tranfusi Darah
Awal
manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri
kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin
berwarna kemerahan atau keabuan
(hemoglobinuria). Pada reaksi hemolitik akut yang terjadi di intravaskular
dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular
coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok (Joyce Poole, 2001).
Pada reaksi hemolitik tipe lambat
memunculkan gejala dan tanda klinis reaksi timbul 3 sampai 21 hari setelah
transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit,
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan
dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus reaksi
hemolitik tipe lambat tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah
beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan
dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian
sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis,
reaksi ini akan memperburuk kondisi penyakit (Rizky Adriansyah, et.al.,
2009).
2.
Inkompabilitas
pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)
Manifestasi yang ditimbulkan
Inkompatibilitas ABO neonatus terhadap janin bervariasi mulai dari ikterus
ringan dan anemia sampai hidrops fetalis. Manifestasi yang muncul pada
bayi setelah persalinan meliputi :
a.
Asfiksia
b.
Pucat (oleh karena anemia)
c.
Distres pernafasan
d.
Jaundice
e.
Hipoglikemia
f.
Hipertensi pulmonal
g.
Edema (hydrops, berhubungan dengan
serum albumin yang rendah)
h.
Koagulopati (penurunan platelets dan
faktor pembekuan darah)
i.
Ikterus
mengarah pada Kern ikterus oleh karena hiperbilirubinemia (University of Califorrnia, 2004).
D. Patofisiologi
1.
Inkompatibilitas ABO pada transfusi darah
Terjadinya inkompatibilitas ABO pada
transfusi darah disebabkan karena kesalahan transfusi yaitu kesalahan dalam
pemberian darah dimana golongan darah resipien berbeda dengan golongan darah
pendonor. Hal ini mengakibatkan antibodi didalam golongan darah resipien akan
melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik pada
kejadian inkompatibilitas ABO dapat terjadi secara akut dan secara lambat(Rizky
Adriansyah, 2009).
Reaksi hemolitik akut pada transfusi
merupakan masalah yang serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang
sangat cepat ( kurang dari 24 jam ). Pada umumnya dikarenakan kesalahan dalam
mencocokan sample darah resipien dan donor. Proses hemolitik terjadi di dalam
pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II.
Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen yang
berinteraksi dengan antibodi pada resipien berupa IgM anti-A, anti – B atau
anti-Rh. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentukmembran
attack complex. Pada beberapa kasus terjadi interaksi plasma donor sebagai
antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen. Pada reaksi hemolitik akut
juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan proses
ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen dan antibodi akan
meningaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K yang menghasilkan
perforin dan mengakibatkan lisis dari eritrosit(Rizky Adriansyah, 2009).
Reaksi hemolitik lambat pada
transfusi diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular,
namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang
mengandung eritrosit merupakan antigen yang berinteraksi dengan IgG atau C3b
pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan
dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi
(IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi
tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dandihancurkan di limpa (Rizky
Adriansyah, 2009).
2.
Inkompatibilitas ABO pada Neonatus
Timbulnya penyakit Rh dan ABO pada
neonates terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan
sel darah merah pada janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit
janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan Fetomaternal Microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki
antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat melewati
plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel
eritrosit janin akan diselimuti dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia. Hal ini akan
dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan eritroblas
(yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.Produksi eritroblas yang berlebihan
dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, sepertiplatelet dan faktorpenting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, sepertiplatelet dan faktorpenting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.
Hemolisis yang berat biasanya
terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus,
ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus
positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah
merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan
tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari
sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan
kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis
menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin ,yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat
berkembang menjadi kernikterus.
E.
Komplikasi
1.
Inkompabilitas pada Kesalahan Tranfusi Darah
Dalam kasus ini penderita dapat
mengalami masalah yang serius hingga kematian. Penatalaksanaan yang tepat dapat
menyelamatkan jiwa penderita. Komplikasi yang mungkin muncul pada
inkompatibilitas ABO sebagai akibat reaksi tranfusi adalah gagal ginjal, syok
anafilaktik, dan kematian (Rizky Adriansyah, et.al., 2009)
2.
Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)
Apabila janin sampai aterm
dilahirkan hidup maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus
patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat
dapat menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan
perkembangaan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005).
F.
Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan
deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling sering digunakan untuk menapis
antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau
antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan
anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan
IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah
pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen
eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu
ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi
akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus
yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat
< 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%,
hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
G.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan penunjang pada inkompatibilitas ABO
kesalahan tranfusi
a.
Pemeriksaan crossmatch ulang
antara darah pendonor dan penerima
b.
Direct Antiglobulin Test (DAT)
c.
Pemeriksaan serologis rhesus
d.
Urinalisis didapatkan adanya
hemoglobinuria
e.
Pemeriksaan lain untuk mengetahui
komplikasi dari reaksi hemolitik, antara lain:
1)
Renal function test
2)
LDH, bilirubin dan haptoglobin
3)
Status
koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan
fibrinogen) (Rizky Adriansyah, et.al., 2009).
2.
Pemeriksaan penunjang pada Inkompatibilitas ABO
neonatus, meliputi:
a.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan
klinis neonatus pada kasus inkompatibilitas ABO merujuk pada pemeriksaan klinis
pada ikterus neonatorum karena secara klinis neonatus dengan inkompatibilitas
ABO akan mengalami ikterus/ hiperbilirubinemia. Ikterus/ hiperbilirubinemia
adalah pewarnaan di kulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah (Djoko Waspodo et.al., 2005)
Klinis akan
menunjukkan ikterus bila kadar bilirubin dalam serum adalah ≥ 5mg/dl
(85µmol/L). Disebut hiperbilirubin adalah keadaan kadar bilirubin serum
mencapai 13 mg/dl (Djoko Waspodo et.al., 2010). Pemeriksaan klinis ikterus dilakukan menggunakan
pencahayaan yang memadai. Pemeriksaan dimulai dari kepala, leher, dan
seterusnya. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan
lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan
dengan angka rata-rata di dalam gambar di bawah ini :
![]() |
Pemeriksaan tanda klinis lain,
meliputi adanya gangguan minum, keadaan umum, apnea, suhu yang labil, sangat
membantumenegakkan diagnosa penyakit utama disamping keadaan
hiperbilirubinemianya (Djoko Waspodo et.al., 2010).
1)
Hitung sel darah merah
Pada kasus
inkompatibilitas ABO pada neonatus, pemeriksaan sel darah merah menunjukkan
adanya retikulositosis (retikulosit > 4, 6%) dan mikrosferosit pada hapusan
darah tepi (Desiana Dharmayani, et.al., 2009)
Retikulosit
merupakan sel darah merah imatur. Jika terjadi anemia, sumsum tulang berusaha
mengkompensasi dengan meningkatkan aktivitas eritropoiesis, yang tercermin pada
peningkatan hitung retikulosit. Jika produksi sumsum tulang terganggu maka
hitung retikulosit akan tetap rendah (Desiana Dharmayani, et.al., 2009).
2)
Direct Coomb Test (DCT)
![]() |
Neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO, menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan ini. Tujuan dari pemeriksaan DCT untuk mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG atau komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel darah merah di invivo (pada tubuh pasien). Bahan yang dipergunakan adalah sel darah merah pasien. Pada pemeriksaan ini menggunakan sampel darah dengan antikoagulan EDTA (Desiana Dharmayani, et.al., 2009).
H. Penatalaksanaan
1.
Inkompabilitas ABO pada Kesalahan Tranfusi
a.
Pemberian tranfusi harus diberhentikan
b.
Pemberian cairan intravena dilakukan dengan
hidrasi PZ (3000ml/m2/hari)
c.
Untuk pencegahan GGA :
1)
Dapat diberikan dopamin dosis rendah
1-5 mcg/kg/menit
2)
Diuretik osmotik: manitol (100
ml/kg/hari), selanjutnya diberikan 30ml/kg/hari atau furosemid 1-2ml/kgBB
d.
Jika
dijumpai tanda DIC, pertimbangkan untuk dilakukan tranfusi FFP, kriopresipitat,
dan/ atau trombosit (Rizky Adriansyah, et.al., 2009).
2.
Inkompabilitas ABO pada Kondisi Kehamilan
(Neonatus)
a.
Tata laksana pada
inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis di rumah adalah :
1)
Anjurkan ibu untuk menyusui bayi secara
dini, dan ASI eksklusif lebih sering minimal tiap 2 jam.
2)
Jika bayi tidak dapat menyusu, ASI
eksklusif dapat diberikan melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
3)
Gendong bayi untuk mendapatkan sinar
matahari pagi selama 30 menit pada pukul 07.00-07.30 WIB, dalam 3-4 hari
(Tunjung Wibowo, 2010)
4)
Pada dasarnya inkompatibilitas ABO
dengan ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat
menjalani rawat jalan dengan nasehat untuk kembali jika ikterik berlangsung
lebih dari 2 minggu (Djoko Waspodo et.al., 2010).
b.
Pemberian fototerapi
Fototeraapi
merupakan terapi yang dilakukan dengan menggunakan cahaya dari lampu
fluorescent khusus dengan intensitas tinggi, secara umum metode ini efektif
untuk mengurangi serum bilirubin dan mencegah ikterus (Potts and Mandleco,
2007).
Fototerapi
dilakukan dengan memberikan sinar ultraviolet, baik sinar biru (δ 400-550 nm),
sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan mengubah bilirubin
indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu
atau urin dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi
kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi
isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari
plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin
akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak
terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin. Hanya
produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin (Ali Usman,
2007).
Foto terapi menggunakan
bola lampu sejumlah 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus
(F20T12/BB) atau daylightfluorescent tubes (Porter and Dennis, 2002). Spektrum
cahaya yang dikirim oleh unit fototerapi ditentukan oleh tipe sumber cahaya dan
filter yang digunakan, biasanya terdiri dari daylight, cool white, blue atau
special bluefluorescent tubes dan diberi label F20T12/BB atau TL 52/20W. Durasi fototerapi dihitung berdasarkan waktu
dimulainya fototerapi sampai fototerapi dihentikan. Durasi fototerapi ditentukan
oleh penurunan nilai total serum bilirubin sampai mencapai nilai yang
diharapkan, sehingga tidak ada penentuan berapa jam sebaiknya fototerapi
diberikan (American Academy of Pediatric, 2004).
Fototerapi diberikan pada bayi yang
mengalami ikterus berat, kemudian tentukan apakah bayi memiliki faktor resiko,
seperti: BBLR, preterm, dan hemolisis. Hentikan fototerapi jika bilirubin serum
berada di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, akan tetapi jika bilirubin
serum berada pada atau di atas nilai yang dibutukan terapi sinar, maka
lanjutkan fototerapiPengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam, kecuali
pada kasus-kasus tertentu. Fototerapi dihentikan jika kadar bilirubin serum
kurang dari 13mg/dL. Jika kadar bilirubin tidak dapat diukur, lanjutkan sampai
3 hari kemudian dan lakukan pemeriksaan bilirubin serum jika memungkinkan. Akan
tetapi jika tetap tidak bisa dilakukan pemeriksaan bilirubin serum, maka
lakukan pemeriksaan ikterus dengan metode klinis (Moeslichan, et.al., 2004; American
Academy of Pediatric, 2004).
Dosis dan kemanjuran dari fototerapi
biasanya dipengaruhi oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya,
semakin besar irradiasinya) dan permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu
dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi intensif (Maisels,et al,
2008). Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya. Dengan lampu neon, jarak
harus tidak lebih besar dari 50 cm (20 inch). Jarak ini dapat dikurangi sampai
10-20 cm jika homeostasis suhu dipantau untuk mengurangi resiko overheating
(Judarwanto, 2012).
Efek samping ringan yang harus
diwaspadai perawat meliputi feses encer kehijauan, ruam kulit transien,
hipertermia, peningkatan kecepatan metabolisme,seperti hipokalsemia dan
priaspismus. Untuk mencegah atau meminimalkan efek tersebut, suhu dipantau
untuk mendeteksi tanda awal hipotermia atau hipertermia, dan kulit diobservasi
mengenai dehidrasi dan kekeringan, yang dapat menyebabkan ekskoriasi dan luka
(Wong, 2009).
Komplikasi terapi sinar umumnya
ringan, jarang terjadi dan reversibel. Komplikasi yang sering terjadi
(Sastroasmoro, 2004) :
1)
Bronze baby sindrom: mekanisme
berkurangnya ekresi hepatic hasil penyinaran bilirubin
2)
Diare:
bilirubin indirek menghambat lactase
3)
Hemolisis:
fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
4)
Dehidrasi:
Insesible Water Loss ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton.
5)
Ruam
kulit: Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan
histamin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi usia
38 minggu yang pada saat usianya 12 jam terdapat warna kuning yang menjalar
dari muka hingga ke seluruh badannya dalam waktu 24 jam mengalami ikterus neonatorum
yang termasuk keadaan patologis karena munculnya ikterus kurang dari 24 jam. Selain itu,
pembuktian bahwa bayi
ini tergolong ikterus
patologis adalah dengan
cara memeriksa kadar bilirubinnya. Kemudian,
untuk mengetahui penyebabnya, diperlukan adanya pemeriksaan penunjang
seperti Tes Coomb. Karena bayi ini baru lahir, penyebab tersering ikterus ini
adalah ketidakcocokan golongan darah bayi dengan golongan darah ibu, sehingga
untuk terapinya, tergantung dari keparahan anemia yang ditimbulkan (akibat
adanya hemolysis) dan
hiperbilirubinemia pada bayi. Ada beberapa pilihan terapi, di antaranya immunoglobulin, fototerapi,
transfusi tukar, atau jika sudah sangat parah kombinasi antara transfusi tukar
dengan fototerapi.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiston,
David C. Buku ajar bedah (sabiston’s essentials surgery).alih bahasa
PetrusAndrianto, Timan I.S; editor: Jonathan Oswari. Jakarta: EGC, 1995
Wang,
et.al., (2005). Hemolytic Disease of the Newborn Caused by a High Titer
Anti-Group B IgG From a Group A Mother. Pediatric Blood & Cancer
Haque
KM, and Rahman M. (2000). An Unusual Case of ABO-Haemolytic Disease ofthe
Newborn. Bangladesh Medical Research Council
Mennuti, M.
(2011). Management of
Pregnancy with ABO
Incompatibility.TheFoundation for Exxcellence in Women's Health Care
Markum
AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian IKA
FKUI, 1991: 332-334