Follow Me @deeres_

Sunday, October 15, 2017

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Laboratorium Tuberculosis - Deeres

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
DI LABORATORIUM TUBERCULOSIS





Disusun oleh:
Dinda Retno Sya’bani
16.0626.0804.03




PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA SAMARINDA
2017/2018


1.1. Pendahuluan
A. Epidemiologi
Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dan 2,5 juta orang yang meninggal setiap tahun. Mycobacterium tuberculosis menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang oasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 – 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan di kucilkan oleh masyarakat.
Tuberculosis itu sendiri merupakan salah satu penyakit yan dietahui banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya mlalui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi TB paru (Mario dan Richard, 2005). Tuberkulosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleuira (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Depkes,2007).
Organisme ini temasuk ordi actinomycetalis, familia Mycobacterium tuberculosis dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberculosis terbentuk batang ramping lurus, tapi kadang – kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2 µm – 0,5 µm. organism ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik – manic atau granuler.
Sebagian besar basil tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan bacteria aerob obligat dan mendapatkan energy dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhanya. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37˚C dan pH 6,4 – 7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60˚C akan mati dalam waktu 15-20 mneit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sek mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengna asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013).

B. Penyakit TBC
Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh MT. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi dapat menyerang semua organ atau jaringan tubuh, misalnya pada lymph node, pleura dan area osteoartikular. Biasanya pada bagian tengah granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan (Depkes RI, 2002).
Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan,miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan olehWHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.

C. Terjadinya TBC
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Percikan dahak yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitasseluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
2. Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Cirikhas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
D. Cara penularan TBC
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembangbiak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling seitng terkena yaitu paru – paru. Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan fotorontgen.

E. Perbedaan di antara Infeksi TBC dan Penyakit TBC
1. Infeksi TBC
Kuman TBC berada didalam tubuh tapi ‘tidak aktif’ yang paa umumnya bisa dikendaikan ketahanan tubuh, namun kumannya dapat tetap hidup dalam keadaan tidak aktif ini. Selama kumannya tidak aktif, tidak akan terjadi kerusakan atau penyebaran kepada orang lain. Orangnya ‘terkena infeksi’ tapi tidak sakit. Pada 90% dari orang yang terkena kuman ini tidak akan terpengaruh. Infeksinya dapat diketaui dari hasil positif uji coba tuberculin.
2. Penyakit TBC
Walaupun sudah bertahun – tahun, kuman TBC ‘tidak aktif’ dapat menjadi ‘aktif’ jika ketahanan tubuh melemah misalnya karena tua, sakit parah, kejadian menekan, penyalahgunaan obat bius atau minuman keras, infeksi HIV dan lain – lain.
a. Kalau kuman TBC tidak aktif menjadi aktif, penyakit TBC bisa terjadi
b. Hanya sekitar 10% dari orang yang terkena kumannya akan mendapat penyakit TBC
c. Yang paru – paru atau tenggorokannya terkena TBC dapat menularkan kepada orang lain
d. Sesudah 2 minggu minum obat, pada umumnya pengidap penyakit TBC tidak dapat menyebarkan kumannya lagi
e. Pengidap TBC di bagian lain tubuh tidak menularkan.

F. Gejala penyakit TBC
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi 2, yaitu gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

1. Gejala Sistemik/Utama
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam.
a. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
b. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
c. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

2. Gejala Khusus
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
d. Pada anak anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagaui meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang – kejang.

G. Cara Pencegahan TBC
Adapan tujuan dari pencegahan TBC, yaitu;
1. Menyembuhkan penderita.
2. Mencegah kematian.
3. Mencegah kekambuhan.
4. Menurunkan tingkat penularan.

Cara-cara pencegahan TBC sebagai berikut;
1. Saat batuk seharusnya menutupi mulutnya, dan apabila batuk lebih dari 3 minggu, merasa sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.
2. Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.
3. Membuang ludah di tempat yang tertutup, dan apabila ludahnya bercampur darah segera dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.
4. Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan oleh penderita.
5. Bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil harus diimunisasi dengan vaksin BCG. Karena vaksin tersebut akan memberikan perlindungan yang amat bagus.



H. Pengobatan TBC
1. Jenis Obat
a. Isoniasid
b. Rifampicin
c. Pirasinamid
d. Streptomicin
2. Prinsip Obat
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan dalam dosis tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yangdigunakan tidak adekuat, kuman TB akan berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan TB diberikan dalan 2 Tahap yaitu:
a. Tahap intensif
Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minum obat) setiap hari selama 2 - 3 bulan.
b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minum obat) tiga kali seminggu selama 4 – 5 bulan.
3. Efek Samping Obat
Beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi obat TB bervariasi mulai dari ringan hingga berat. Efek samping ringan dapat berupa berubahnya warna urine menjadi kemerahan yang diakibatkan oleh rifampisin.
Efek samping lainnya dapat berupa nyeri sendi, tidak ada nafsu makan, mual, kesemutan dan rasa terbakar di hati, gatal dan kemerahan dikulit gangguan keseimbangan hingga kekuningan (ikterus). Jika pasien merasakan hal-hal tersebut, pasien harus segera berkonsultasi dengan dokter untuk memperoleh penanganan lebih lanjut, fase lanjutan. Dalam beberapa kasus pengobatan bisa berlangsung hingga delapan bulan.


I. Diagnosis
1. Di dalam paru – paru
a. Potret sinar X dapat menunjukkan apakah penyakit TBC sudah mengenai paru – paru
b. Uji coba dahak menunjukkan apakah ada kuman TBC pada dahak yang keluar
c. Jika orangnya tidak dapat mengeluarkan dahak, uji coba lain mungkin diperlukan.
2. Di luar paru – paru
a. Uji coba seperti biopsy jarum halus, contoh dari luka, contoh dari pembedahan atau contoh air seni dini hari dapat membantu diagnose TBC

1.2.Keselamatan dan Kesehatan Kerja
A. Administrasi dan Pengelolaan Laboratorium Tuberculosis
Administrasi sangat berperan dalam menjamin keselamatan dan keamanan kerja laboratorium. Hal hal yang termasuk dalam pengelolaan secara administrasi:
1. Penyusun tim/petugas pelaksana keselamaan dan keamanan laboratorium TB
Tim keselamatan dan keamanan kerja laboratorium TB merupakan bagian dari tim keselamatan dan keamanan institusi laboratorium secara keseluruhan. Tim ini dibentuk untuk memastikan bahwa kebajikan dan program dilaksanakan dengna konsisten oleh petugas laboratorium.
Tim ini memiliki tugas:
a. Merencanakan kegiatan yang berhubungan dengan penjamin kesehatan petugas.
b. Menyediakan alat – alat keselamatan kerja.
c. Memfasilitasi pelatihan k3
d. Membuat procedure tahap penanganan dan alur kerja k3.
e. Melakukan investigasi kejadian kecelakaan kerja di laboratorium, melaporkan temun, dan memberikan rekomendasi pada pimpinan.
f. Memantau status kesehatan petugas laboratorium, kecelakaan kerja, dan melaporkan kepada penanggung jawab laboratorium.
g. Memberikan /merujuk petugas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
h. Melakukan penanganan kecelakaan laboratorium, tumpahan bahan infeksius, luka tusuk, luka bakar, paparan bahan kimia, dan lain-lain.
i. Melakukan mentoring dan evaluasi terhadap implementasi keselamatan dan keamanan kerja laboratorium.
j. Memastikan pengelolaan limbah laboratorium sesuai prosedur standar,
Pembentukan tim keselamatan dan keamanan kerja laboratoium dilakukan memulai penunjukan dan penetapan oleh kepala laboratorium. Susunan organisasi tim disesuaikan dengan kondisi masing masing laboratorium dan harus memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas.
2. Penyusunan prosedur tetap laboratorium TB
Laboratorium TB harus memiliki dokumentasi mengenai pemeliharaan infrastruktur, peralatan, prosedur tetap pemeriksaan sehingga dapat mudah diketahi apakah peralatan telah terpasang, lulus uji fungsi, dioperasikan dan prosedur kerja sudah dilaksanakan sesuai standar.
Prosedur tetap yang diperlukan di laboratorium TB:
a. Protap pemeliharaan infrastruktur laboratorium
Pemeliharaan istalasi listrik, air, gas, aliran udara/ventilasi, ruang laboratorium.
b. Protap pemeliharaan dan pengoperasian alat yang beresiko terhadap keselamatan.
Mikroskop, Biosafery Cabinet (BSC), sentrifuge, autoklaf, incubator, vortex, pipet, dan karet penghisap.
c. Protap penanganan kecelakaan kerja
Penanganan luka akibat benda tajam, luka bakar, sengatan listrik, tumpahan bahan kimia, dan bahan infeksius.
d. Protap pengelolaan limbah
Pengumpulan, pengangkutan, sterilisasi, dan pemusnahan limbah.
e. Protap monitoring dan evaluasi
3. Kompetensi keselamatan dan keamanan kerja
a. Pelatihan keselamatan dan keamanan kerja laboratorium petugas dilaboratorium sederhana (laboratorium mikroskopis TB) minimal harus memiliki pengetahuan tentang keselamatan dan keamanan kerja:
1) Penanganan contoh uji dahak mulai dari pengambilan, proses oembuatan sedan, tumpahan.
2) Pengolahan limbah infeksius.
3) Penanganan kedaruratan; luka bakar, luka tusuk.
Petugas di laboratorium yang elakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih mendalam tentang pengamatan biologis, fisik, kimiawi, dan kedaruratan.
Peningkatan kompetensi petugas dalam hl K3 laboratoium merupakan tanggung jawab pimpinan laboratorium salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi melalui pelatihan yang dapat dilaksanakan di dalam meupun di luar laboratorium.
b. Monitoring dan evaluasi
Tim K3 secara berkala melakukan monitoring dan evaluasi dalam pelaksaan K3 laboratorium TB dan dilaporkan dalam penemuan rutin di institusinya. Penentuan waktu pelaporan ditetapkan berdasarkan kesepakatan manajemen institusi minimal satu tahun sekali.
Bila terjadi kedaruratan/kecelakaan kerja pelaporan harus segera dibuat meliputi kronologis kedaruratan/kecelakaan kerja, penanganan, dampak, dan rencana tindak lanjut pencegahan agar tidak terulang.


4. Penilaian resiko keselamatan dan keamanan kerja laboratorium
Potensi terhadap terjadinya hal yang tidak diinginkan harus dievaluasi untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terbesar petugas laboratorium terpapar bahan infeksius dan mencegah keluar ke lingkungan sekitar. Penilaian terhadap resiko kerja harus dilakukan oleh Tim K3 sesuai protap dan dievaluasi untuk mengidentifikasi bahasa serta mengambangkan penanganan untuk mengatasi resiko tersebut.
a. Persyaratan kesehatan petugas laboratorium TB
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum calon/petugas mulai melaksanakan tugasnya. Pemeriksaan kesehatan meliputi pemeriksaan fisik, laboratorium, foto toraks, visus mata, dan buta warna.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh data tentang status kesehatan calon/petugas dan mengetahui apakan calon/petugas tersebut ditinjau dari segi kesehatannya layak untuk bertufas dalam bidangnya di laboratorium.
b. Identifikasi factor resiko yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja
1) Infrastruktur
Instalasi: listrik, air, gas, aliran udara/ventilasi, ruang laboratorium.
2) Peralatan
3) Bahan habis pakai
4) Jenis pekerjaan: paparan dengan bahan infeksius dan bahan berbahaya pada saat proses pemeriksaan
5) Beban pekerjaan
c. Pengaturan jam kerja dan beban kerja
Pengaturan jam kerja dan beban kerja sangat penting karenda dapat mempengaruhi kinerja dan keselamatan petugas laboratorium.
Di laboratorium mikroskopis TB:
Setelah pembacaan mikroskopis secara bertuturan, maksimal 200 sediaan, harus mengistrahatkan mata selama 1 jam sebelum membaca kembali. Yang dimaksud dengan mengistirahatkan mata yaitu merelaksasikan otot-otor mata.
Di laboratorium biakan dan uji kepekaan:
Jumlah pemeriksaan biakan/uji kepekaan obat TB: maksimal 20 sampel per hari per orang.

Penyelenggaraan pelayanan laboratorium TB menggunakan system administrasi dan pengelolaan organisasi yang terkendali dan dievaluasi dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:
1. Bagan organisasi laboratorium TB dapat berdiri sendiri atau merupakan bagin dari pelayanan laboratorium.
2. Uraian tugas setiap pelaksana pelayanan pemeriksaan laboratorium TB memuat tugas, kewenangan dan hubungan kerja dengan unit pelayanan lain. Bagan orhnisasi dan uraian tugas ini diketahui oleh setiap tenaga pelaksana.
3. Rencana kegiatan pelayanan laboratorium TB disusun oleh penanggung jawab sebagai tenaga teknis minimal sekali setahun yang meliputi perencanaan dn pengembangn pelayanan, kebitihan alat dan bahan (reagen dan obat murni) pelatihan.
4. Standar prosedur operasional pemeriksaan laboratorium TB
5. Hasil pemeriksaan laboratorium TB dilaporkan dengan format baku sesuai standar.

1.3. Tenaga Teknis dan Penanggung Jawab Program TB
A. Teknis
1. Pengaturan tata ruang dan saranan kerja sesuai resiko
Pengaturan tata ruang laboratorium TB harus disesuaikan dengan risiko pajanan M.tuberculosis.
a. Di laboratorium yang hanya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB, ruang laboratorium dapat digabung dengan pemeriksaan mikroskopik lain dengan meja kerja dan bak pewarnaan terpisah.
b. Laboratorium dan uji kepekaan TB harus terpisah dari laboratorium pemeriksaan lain. Pemeriksaan mikroskopis TB dapat bergabung dengan laboratorium biakan dan uji kepekaan dengan memperhatikan tingkat risijo keamanan biologis (alur kerja mikroskopis-molekuler-biakan-uji-kepekaan)
2. Pemilahan dan penempatan bahan sesuai dengan resiko bahaya
Bahan/materi di laboratorium TB erupakan factor yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja, sehingga memerlukan pemilahan dan penempatan yang sesuai dengan tingkat resikonya.
a) Petugas harus memperlakukan setiap bahan pemeriksaan sebagai bahan infeksius.
b) Pemilahan bahan kimia didasarkan atas sifat mudah terbakar/menguap/meledak/beracun/karsinogenik.
3. Pemilihan alat kerja dan proses kerja yang tepat
Peralatan yang digunakan disesuaikan dengan petunjuk teknis jenis pemeriksaan. Proses kerja dilaksanakan sesuai prosedur tetap pemeriksaan standar.
4. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tepat
Penggunaan laboratorium mikroskopis TB: jas laboratorium.
Penggunaan laboratorium biakan dan uji kepekaan: jas laboratorium, sarung tangn, masker, dan alas kaki.
Spesifikasi APD dapat dilihat dalam pedoman pemeriksaan mikroskopis, biakan uji kepekaan M.tuberkulosis.
5. Pemeliharaan perangkat kerja (peralatan dan infrastruktur)
Pemeliharaan peralatan dan infrastruktur dilakukan secara sistematis. Pimpinan laboratorium bertanggung jawab dalam kegiatan pemeliharaan ini dan kegiatan ini dilaksanakan oleh tim K3 laboratorium.
Pimpinan laboratorium harus menetapkan kebijakan untuk menjamin pelaksanaan, dokumentasi dan leporan kehiatan pemeliharaan. Tim K3 menyusun penjadwalan, pembagian tugas, instruksi kerja pemeliharaan, evaluasi dan rencana pengembangan dan perbaikan perangkat kerja.
Jika institusi memiliki petugas/tim yang melakukan pemeliharaan sarana dan prasaranan, maka tim K3 harus berkoordinasi untuk penjaminan K3.
B. Penanggung Jawab Program Laboratorium TBC
Laboratorium yang melakukan pelayanan pemeriksaan TB mempunai tenaga teknis dan penanggung jawab.
Penanggung jawab dapat dirangkap oleh pimpinan laboratorium atau fasilitas pelayanan kesehatan.
1. Uraian tugas:
a. Penanggung jawab laboratorium TB mempunyai tugas:
1) Menjamin tersedianya perencanaan kegitan laboratorium TB meliputi sarana dan prasarana, tenaga dan prosedur tetap.
2) Menjamin terlaksananya kegiatan pemeriksaan laboratorium TB sesuai prosedur tetap
3) Melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan pemeriksaan lboratorium TB
4) Melakukan upaya perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan laboratorium TB
5) Mendorong partisipasi staf lain dalam pengembangnan laboratorium TB
6) Menjamin peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas
7) Menjamin pelaksanaan keselamatan dan kerja (K3) laboratorium TB
b. Tenaga teknis laboratorium TB mempunyai tugas:
1) Menerapkan prosedur tetap pemeriksaan laboratorium TB
2) Mengikuti pelatihan dan kalakarya tentang laboratorium TB
3) Melakukan rekapitulasi data
4) Melaksanakan K3 laboratorium TB
2. Kriteria
a. Diadakan pertemuan rutin untuk menjamin adanya hubungan baik dalam pelayanan laboratorium TB mauoun dengan unit pelayanan lain dari fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Kualifikasi tenaga berdasarkan pendidikan.
c. Jumlah tenaga teknos yang dibutuhkan tergantung pada besarnya beban kerja.
3. Koordinasi: melalui pertemuan rutin untuk membina hubungna baik diantara petugas laboratorium mauoun dengan unit pelayanan lain.

1.4. Sarana dan Prasarana Laboratorium TB
Pelayanan laboratorium TB menggunakan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratn untuk melakukan pemeriksaan yang bermutu.
Kriteria:
A. Tata ruang
Ruang kerja ditata dengan baik sehingga memaksimlkan kinerja dan menjamin keselamatan kerja
1. Lokasi
Laboratorium pemeriksaan mikroskopis TB sebaiknya terpisah dari bagian laboratorium pemeriksaan lainnya, apabila hal itu tidak dimungkinkan setidaknya tersedia area khusus yang terpisah utnuk pemeriksaan mikroskopis TB. Area tersebut harus cukup lapang dengan dinding, langit-langit dn lantai yang terbut dari bahan yang tidak berpori, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tahan terhadap bahan – bahan kimiawi yang digunakan untuk pemeriksan TB.
2. Ventilasi
Laboratorium pemeriksaan mikroskopis TB mempunyai ventilasi yang baik untuk mencegah tertularnya petugas labortorium dari droplet nuclei di udara.
Luas ventilasi = 1/3 x luas lantai
Letak jendela/lubang angin tidak menyebabkan turbulensi aliran udara didalam ruangan, tetapi angin yang masuk langsung membawa udara ke luar. Jika menggunakan AC dianjurkan tetap menggunakan exhaust fan.
3. Infrastuktur
Ketersediaan dan ketentuan infrastruktur sesuai dengan pedoman K3. Tersedia air bersih mengalir, listrik, sanitasi dan pengolahan limbah termasuk penyediaan peralatan yang diperlukan dalam laboratorium TB, termasuk alokasi sumber daya listrik. Bak cuci tangan diletakkan dekat pintu ruang laboratorium dan tidak boleh dipakai untuk pembuangan limbah infeksius dan pencucian alat.
4. Pintu laboratorium TB jangan dibiarkan dalam keadaan terbuka.

B. Tersedianya bahan dan peralatan pemeriksaan laboratorium sesuai standar.
1. Pengadaan alat dan bahan laboratorium
Pengadaan alat dan bahan pemeriksaan laboratorium harus mempertimbangkan persediaan dan kebutuhan yang sesuai dengan spesifiksi untuk pemeriksaan sesuai standar.
2. Pemeliharaan alat
a. Pemeliharaan alat dilakukan sesuai dengan buku petunjuk teknis setiap alat
b. Peralatan laboratorium harus di kalibrasi secara berkala oleh institusi pengujian fasilitasi kesehatan yang berwenang.
C. Jenis ruangan laboratorium mikroskopis TB:
1. Ruangan pengambilan dahak
Pengambilan dahak atau tindakan induksi dahak untuk pasien – pasien dengan resiko tinggi sebaiknya dilakukan ditempat khusus atau ruang terbuka jauh dari lalu lalang orang. Sebaiknya mendapat sinat matahari langsung pada jam-jam pengambilan specimen dahak. Disediakan pula sarana cuci tangan dengan pasokan air mengalir yang cukup dan sabun cair pencuci tangan dan tempat sampah yang telah dipakai.
2. Ruang pemeriksaan mikroskopis TB ditata sebagai berikut:
a. Area bersih merupakan tempat kegiatan administrasi
b. Area setengah kotor merupakan tempat peneriman specimen dan pembacaan mikroskopis
c. Area kotor merupakan tempat pembuatan sediaan dahak, pengecatan, dan pengelolaan sementara limbah infeksius.

3. Ruangan pemeriksaan Xpert MTB/RIF ditata sebagai berikut:
a. Area pengolahan specimen
1) Memiliki system pengendalian infeksi yang baik (mengacu pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi Tuberkulosis)
2) Memiliki pencahayaan yang baik
b. Area penempatan instrument amplifikasi asam nukleat
1) Mesin tidak secara langsing berada dibawah AC atau jendela (tidak terkena matahari langsung)
2) Ditempatkan pada meja kerja yang stabilm tidak terdapat centrifuge didekat mesin Xpert MTB/RIF
3) Jarak antara instrument dan tembok 10-15 cm.
4) Instrument diletakkan dekat dengan sumber listrik.
5) Temperature ruang terkontrol (15-25ÂşC).
c. Area penyimpanan reagen
Reagen disimpan pada suhu 2-28ÂşC.
D. Tersedianya sarana pengolahan limbah untuk limbah infeksius dan non infeksius, baik padat maupun cair. Pelaksanaan pengolaan limbah harus tercatat dan dilaporkan.
E. Tersedia sumber dan instalasi air bersih dengan pemasokan yang cukup.
F. Tersedianya sumber daya dan instalasi listrik yang memadai.
G. Tersedianya tempat pemeriksaan logistic yang sesuai standar.
Penyimpanan logistic harus mempertimbangkan syarat penyimpanan dengan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan keamnan setip bahan ( suhu, kelelembaban, cahaya, sifat kimia)
H. Tersedianya system pengaman pada keadaan darurat.
1. Perlengkapan alat dan obat untuk keadaan darurat
2. System tanda bahaya
3. Peta jalur evakuasi
4. Alat komunikasi darurat baik didalam maupun ke luar laboratorium, nomor telepon ambulan, pemadam kebakaran, dan polisi disetiap ruang laboraorium.
5. Pelatihan khusus berkala tentang penanganan keadaan darurat.
1.5. Pengelolaan LImbah BTA (Basil Tahan Asam)
Pimpinan laboratorium harus membuat kebajikan yang menjamin pengelolaan limbah bagi petugas dan lingkungan. Pimpinan harus memastikan tersedianya sarana, protap, logistic dan petugas untuk melaksankan pengelolaan limbah dengan benar.
A. Pemilahan limbah
Langkah – langkah pengelolan limbah di laboratorium meliputi tindakan pemilahan limbah, pengumpulan limbah, sterilisasi dan netralisasi, transportasi, dan pemusnahan.
1. Dilakukan pemisahan antara limbah infeksius dan limbah non infeksius, baik padat maupun cair dalam wadah yang tidak bocor.
2. Pengumpulan harus menggunakan wadah yang tidak bocor dan tahan terhadap tusukan, aplikator bambu, lidi lancip, wadah dahak dan tutupnya, kaca sediaan yang sudah tidak terpakai dan limbah padat lain harus direndam dalam larutan hipoklorit 1% atau desinfektan lain selama minimal 12 jam.
3. Limbah infeksius harus disterilisasikan dengan otoklafisasi, dilanjutkan dengan insenerasi. Insenerasi merupakan pembuangan limbah akhir setelah melalui proses sterilisasi dengan mengolah limbah dengan pembakaran pada temperature sangat tingi (>800ÂşC). insenerasi idealnya dilakukan pada alat dengan dua rang bakar, dimana pada ruang bakar pertama suhu mencapai 1000ÂşC. waktu retensi gas dalam ruang bakar kedua minimal 0,5 detik. Insenerator yang hanya memiliki satu ruang bakar kurang efektif untuk menangani bahaya infektif. Jika memakai carbonizer pakailah sesuai petunjuk pemakaian.
4. Limbah cair yang dibuang melalui system IPAL
5. Untuk membuang limbah tabung media cair, dimasukkan ke dalam kantong plastic khusus autoclave, kemudian di autoclave dan selanjutnya dihancurkan dalam insenerator.
6. Untuk membersihkan tumpahan daak, petugas harus memakai sarung tangan dan selanjutnya ditutupi dahak dan wadah yang pecah tersebut dengan kain atau kertas. Tuang larutan hipoklorit 1% fresh sampai membasahi semua kertas/kain dan biarkan selama 10-15 menit dalam keadaan basah. Setelah itu, kumpulkan wadah yang pecah, tempatkan dalam wadah tertutup dan sterilkan. Selanjutnya pel lantai dengan desinfektan. Jika percikan terjadi dalam biosafety cabinet, jangan matikan blowernya. Biarkan tetap menyala agar filter HEPA dapat membantu mengurangi cemaran dan tindakan desinfeksi dilakukan seperti di atas.
7. Bila terjadi tumpahan atau tabung pecah dalam alat pemeriksaan biakan media cair (MGIT), segera metikan alat, kosongkan ruangan dari petugas selama 1 jam dan beri tulisan “SPILL” di alat dan pintu ruangan, kemudian bersihkan tumpahan dengan desinfektan setelah berkonsultasi dengan teknisi alat MGIT dari perusahaan resmi.
8. Setiap hari pada akhir jam kerja, kantong penampungan alat/bahan infeksius (pot dahak, pipet, cartridge) disegel dan di insenerasi sesegera mungkin.

Limbah di laboratorium TB dapat berasal dari sisa contoh uji pada preses pemeriksaan laboratorium, peralatan yang digunakan dalam proses pemeriksaan, dan bahan habis pakai. Pemilahan limbah laboratorium TB berdasarkan karakteristik infeksius dan non-infeksius, baik padat, cair dan gas. Limbah tersebut harus dikelola sesuai sifat limbah sehingga aman bagi petugas dan lingkungan laboratorium.
Limbah infeksius cair: contoh uji, pelarut disinfektan.
Limbah infeksius padat: peralatan yang terpaar bahan infeksius
Non infeksius cair: reagen, air yang digunakan dalam proses pemeriksaan
Non infeksius padat: limbah rumah tangga yang tidak terpapar contoh uji
Gas: residu hasil proses pembuatan reagen.

B. Pengelolaan Limbah Infeksius
Prinsip pengelolaan limbah infeksius:
1. Laboratorium Mikroskopis TB
Wadah contoh uji dan tutupnya, kaca sedian yang sudah tak terpakai dan limbah padat lain harus direndm dalam larutan Lysol 5% atau disinfektan lain yang cocok utnuk desineksi M. tuberculosis selama minimal 12 jam.
Laboratorium tanpa autoclave:
Lakukan dekontaminsi alat dengan cara merendam dalam larutan disinfektan selama minimum 12 jam kemudian direbus setelah mendidih dibiarkan selama 10 menit. Atau dapat digunakan pressure cooker pada suhu didih selama 20 menit. Apabila laboratorium mikroskopis TB memiliki autoclave lakukan sterilisasi dengan autoclave. Untuk sterilisasi dengan autoclave dibutuhkan suhu 121˚C dengan tekanan udara 1,5 – 2 atmosfer selama 20 menit (perhitungan waktu dimulai saat suhu dan tekanan udara tersebut tercapai; jangan membuka autoclave jika belum dingin benar dan jangan mengisi air berlebihan). Jika menggunakan pemanasan kering, lakukan pada suhu 160ÂşC selama minimal 30 menit.
Cairan deisinfektan yang digunakan untuk merendam harus melalui proses netralisasi untuk memperkecil resiko kerusakan lingkungan. Bahan infeksius dari laboratorium mikroskopis dapat dimusnahkan dengan cara dibakar. Asap hasil pembakaran harus dianggap beracun, sehingga drum tempat pembakaran harus diletakkan jauh dari manusia dan berada di area terbuka.

2. Laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
Contoh uji dan peralatan yang terpapar bahan infeksius harus di sterilisasi dengan autoclave. Peralatan yang akan digunakan kembali setelah dilakukan sterilisasi, dicuci kemudian disterilkan lagi sebelum dipakai.

1.6. Daftar Pustaka
Crofton, john. Horne, Norman. dan Miller, Fred. 2002. Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika, TALC, dan PERDHAKI.
Tietjen, Linda. Bossemeyer, Debora. Dan McIntosh, Noel. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. d.a. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Oswari, E. 1985. Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: PT. Gramedia, anggota IKAPI.
DRAFT_PERATURAN_MENTERI_KESEHATAN_RI.pdf
kupdf.com_sop-pengelolaan-limbah-hasil-pemeriksaan-laboratorium.pdf
standar pelayanan lab tb.pdf
Pedoman_Teknis_Keselamatan_Kerja_Laboratorium.pdf

No comments:

Post a Comment