MAKALAH
DEFISIENSI IMUN
Disusun oleh:
Dinda Retno Sya’bani
16.0626.0804.03
PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA
SAMARINDA
TAHUN 2016/2017
Kata Pengantar
Puji
syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan. Ringkasan
makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam pemahaman tentang
proses dari “Defisiensi Imun”. Saya sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan kesalahan dalam menyusun makalah ini, maka dari itu kritik dan
saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak atas ide dan sarannya, serta
menilai dan memeriksa makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini mendapatkan
keridhaan dari Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi saya sendiri dan
kepada semua pembaca.
Samarinda,
25 September 2017
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar.............................................................................................. 1
Bab 1: Pendahuluan
A.
Latar Belakang................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 3
C.
Tujuan................................................................................................ 4
Bab 2: Pembahasan
2.1. Definisi
Defisiensi Imun......................................................................... 5
2.2. Pembagian
Defisiensi Imun.................................................................... 6
A.
Defisiensi Imun Non Spesifik............................................................ 6
B.
Sistem Imun Spesifik......................................................................... 10
C.
Defisiensi Imun Didapat/Sekunder................................................... 11
2.3. Diagnosis................................................................................................ 13
2.4. Pengobatan............................................................................................. 14
Bab 3: Penutup
A.
Kesimpulan......................................................................................... 17
Daftar Pustaka............................................................................................... 18
Bab
1
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Integritas system imun adalah esensial untuk
pertahanan terhadap infeksi mikoba dan produk toksiknya. Defek salah satu
komponen system imun dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara
kolektif disebut penyakit defesiensi imun. Secara umum, penyakit defesiensi
umum dapat dibagi menjadi kongenital (bawaan) dan didapat. Defesiensi umum kongenital
atau primer merupakan defek genetic yang meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi kadang secara
klinis baru ditemukan pada usia lanjut. Defesiensi imun didapat atau sekunder
timbul akibat malnutrisi, kanker yang menyebar, pengobatan dengan
imunosupresan, infeksi sel system imun yang nampak jelas pada infeksi virus
HIV, yang merupakan penyebab AIDS.
Pada tahun 1953 untuk pertama kali Bruton menemukan
hipogamaglobulinemia pada anak usia 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis dan
arthritis lutut sejak usia 4 tahun yang disertai dengan serangan-serangan
otitis media, sepsis pneumokok dan pneumonia. Analisa elektroforesis protein
serum tidak menunjukkan respons imun imun terhadap imunisasi dengan tifoid dan
difteri. Defesiensi umum tersebut merupakan salah jenis defesiensi jaringan
limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan
oleh factor genetic atau timbul sekunder karena factor lain.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan defisiensi imun?
2.
Apa saja
pembagian defisiensi imun?
3.
Bagaimana
diagnosis penyakit defisiensi imun?
4.
Bagaimana cara
pengobatan penyakit defisiensi imun?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan defisiensi imun
2.
Untuk mengetahui
apa saja pembagian defisiensi imun
3.
Untuk mengetahui
bagaimana diagnosis penyakit defisiensi imun
4.
Untuk mengetahui
bagaimana cara pengobatan penyakit defisiensi imun
Bab
2
Pembahasan
2.1.
Definisi defisiensi imun
Integritas
system imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap infeksi mikroba dan
produk toksiknya. Defek salah satu komponen system imun dapat menimbulkan
penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif disebut penyakit defisiensi
imun.
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih
komponen system imun tidak aktif, kemampuan system imun untuk merespon pathogen
berkurang pada baik golongan muda dan golongan tua, respon imun berkurang pada usia
50 tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan alcohol dan narkoba
adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan
nutrisi adalah akibat yang paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di
Negara berkembang. Diet kekurangan ataupun cukup protein berhubungan dengan
gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi
antibody, IgA, dan produksi sitokin, defisiensi nutrisi seperti zinc, selenium,
zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga
mengurangi respon imun.
Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit
genetika, seperti severe combined immunodeficiency, atau terinfeksi virus dan
juga didapat dari chronic granilomatus disease ( penyakit yang menyebabkan
kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang). Contohnya AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan beberapa tipe kanker.
Penyakit defisiensi sebagai salah satu dari
sekelompok penyakit yng disebabkan oleh kerusakan system kekebalan. Gangguan
imunodefisiensi sekolomok dimana bagian dari system kekebalan tubuh hilang atau
rusak. Akibatnya, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dapat terganggu.
Adanya defisiensi imun harus dicurigai apabila
ditemukan tanda – tanda klinis sebagai berikut:
1.
Peningkatan kerentanan
terhadap infeksi dan jenis infeksinya tergantung dari komponen system imun yang
defektif.
2.
Penderita dengan
defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker tertentu.
3.
Defisiensi imun
dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau aktivasi atau dalam
mekanisme efektor imunitas non spesifik dan spesifik.
4.
Yang merupakan
paradox adalah bahwa imunodefisiensi tertentu berhubungan dengan peningkatan
insidens autoimunitas. Mekanismenya tidak jelas. Diduga berhubungan dengan
defisiensi sel Tr.
2.2. Pembagian defisiensi imun
A.
Defisiensi imun
non-spesifik
1.
Defisiensi
komplemen
Defisiensi komponen atau fungsi komplemen
berhubungan dengan peningkatan insidens infeksi dan penyakit autoimun seperti
LES. Komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi,
kemotaksis, pencegah penyakit autoimun dan elaminasi kompleks antigen dan
antibody. Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat seperti
infeksi bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit
autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
a.
Defisiensi
komplemen congenital
Biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau
penyakit kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis.
i.
Defisiensi
inhibitor esterase C1
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter,
penyakit yang di tandai dengan edem local sementara tetapi seringkali. Defek
tersebut menimbulkan aktivasi C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin
yang meningkatkan permeabilitas kapilar. C2a an C4a juga dilepas yang
merangsang sell mast melepas histamine di daerah trauma yang berperan pada edem
local. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan menimbulkan edem laring
yang fatal.
ii.
Defisiensi C2
dan C4
Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit
berupa LES, mungkin disebabkan karena kegagalan eleminasi kompleks imun yang
komplemen.
iii.
Defisiensi C3
Defisiensi C3 dapat menimbulkan reaksi berat yang
fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik seperti
streptokok dan stafikok. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak
diproduksi. Kompleks antigen-antibodi-C3b tidak diendapkan di membrane dan
terjadi gangguan opsoninasi.
iv.
Defisiensi C5
Defisiensi
C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan
gangguan kemotaksis.
v.
Defisiensi C6, C7,
dan C8
Defisiensi
C6, C7, dan C8 meningkatkan kerentanan terhadap septikemi meningokok dan
gonokok. Lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme control utama dalam
imunitas terhadap neseria.
b. Defisiensi komplemen fisiologik
Hanya
dapat ditemukan pada neonates yang menyababkan kadar C3, C5, dan factor B yang
masih rendah.
c. Defisiensi komplemen didapat
Disebabkan
oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein atau
kalori. pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen yang
meningkatkan resiko infeksi salmonella dan pneumokok.
i.
Defisiensi
Clq,r,s
Defisiensi
Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama pada penderita
LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri, serta tidak memiliki
inhibiton esterase C1. Akibatnya ialah efek C1 terhadap C4 atau C2 berjalan
terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan seperti plasmin dan peptide yang
vasoaktif.
ii.
Defisiensi C4
Defisiensi
C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.
iii.
Defisiensi C2
Defisiensi
C2 merupakan defisiensi komplemen yang paling sering terjadi. Defisiensi
tersebut tidak menunjukkan gejala seperti yang telah dijelaskan terlebih dahulu
dan terdapat pada penderita LES.
iv.
Defisiensi C3
Penderita
dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa
penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.
v.
Defisiensi C5-C8
Penderita
dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan yang meningkat terhadap
infeksi terutama neseria.
vi.
Defisiensi C9
Defisiensi
C9 sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita tersebut tidak menunjukkan gejala
atau tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis yang masih dapat terjadi atas
pengaruh C8 tanpa C9 meskipun terjadi secara perlahan.
2.
Defisiensi
interferon dan lisozim
a.
Defisiensi
interferon congenital dapat menimbulkan infeksi mononucleosis yang fatal.
b.
Defisiensi
interferon dan lisozim dapat ditemukan pada malnutrisi protein/kalori.
3.
Defisiensi sel
NK
a.
Defisiensi sel
NK congenital telah ditemukan pada penderita dengan osteopetrosis (defek
osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA, dan kekerapan auto antibody biasanya
meningkat.
b.
Defisiensi sel
NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atai radiasi.
4. Defisiensi system fagosit
Fagosit
dapat menghancurkan mirkoorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen.
Defisiensi fagosit sering disertai dengan indeksi berulang. Kerentanan terhadap
infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun.
Resiko infeksi meningkat bila jumlah fagosit turun sampai di bawah 500/mm3.
a. Defisiensi kuantitatif
Neutropenia
atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penuruna produksi atau peningkatan
destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat disebabkan oleh pemberian
depresan sumsum tulang (kemotrapi pada kanker), leukemia, kondisi genetic yang
menimbulkan defek dalam perkembangan semua sel progenitor dalam sumsum tulang
termasuk precursor myeloid (disgenesis reticular).
b. Defisiensi kualitatif
Defisiensi
kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan dan
membunuh mikroba intraseluler.
B.
Defisiensi imun
spesifik
1. Defisiensi kongenitial atau primer
Defisiensi
sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh bakteri. Defisiensi sel T ditandai
dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit
disertai oleh ketidakmampuan untuk memakan dan menghancurkan pathogen, biasanya
timbul dengan infeksi bakteri rekuren.
a. Defisiensi imun primer sel B
Defisiensi
sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B. Berbagai akibat dapat ditemukan
seperti tidak adanya satu kelas atau subkelas Ig atau semua Ig. Penderita
dengan defisiensi semua jenis IgG lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang
hanya menderita defisiensi kelas Ig tertentu saja.
Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan adalah analisa jumlah dan fungsi sel B,
imunoelektroforesis dan evaluasi kuantitatif untuk menentukn kadar berbagai
kelas dan subkelas Ig.
b. Defiseiensi imun primer sel T
Penderita
dengan defisiensi sel T congenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur,
dan protozoa. Oleh karena sel T juga berpengaruh terhadao aktifasi dan
proliferasi sel B, maka defisiensi sel T disertai pula dengan gangguan produksi
Ig yang nampak dari tidak adanya respons terhadap vaksinasi.
2. Defisiensi imun spesifik fisiologik
a. Kehamilan
Defisiensi
imun selular dapat ditemukan pada kehamilan. Keadaan ini mungkin diperlukan
untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen
paternal. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivitas sel T
atau efek supresif factor humoral yang dobentuk trofoblast. Wanita hamil
memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen. IgG diangkut melewati
plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.
b. Usia tahun pertama
System
imun pada anak usia satu tahub pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang.
Meskipun neonates menunjukkan jjumlah sel T yang tinggi, sebuanya berupa sel
naïf dan tidak memberikan respons yang adekuat terhadap antigen. Antibody janin
disintesis pada awal minggu ke 20, tetapi kadar IgG dewasa baru mencapai pada
usia sekitar 5 tahun. Pada usia beberapa bulan pertama, bayi bergantung pada
IgG ibu.
Susu
ibu juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan mencegah infeksi paru dan
saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman botolm 60x lebih beresiko untuk menderita
pneumonia pada usia 3 bulan. Bayi premature lebih mudah mendapat infeksi oleh
karena lebih sedikit menerima immunoglobulin selama akhir akhir kehamilan.
c. Usia lanjut
Golongan
usia lanjut lebih sering mendapat infeksi disbanding usia muda, dikarenakan
terjadinya atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Akibat involusi timus,
jumlah sel T naïf dan kualitas respons sel T semakin berkurang. Jumlah sel T
memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Penyakit autoimun yang
sering timbul pada usia lanjut disebabkan oleh penurunan aktivitas sel T. Pada
usia 60 tahun, jaringan timus hampir seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi
sel T dalam timus hampir hilang.
C.
Defisiensi imun didapat
atau sekunder
Defisiensi
ini mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV,
malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.
1. Infeksi
Infeksi
dapat menimbulkan defisiensi imun. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons
limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Hal yang sama dapat terjadi
setelah imunisasi dengan campak. Pada beberapa keadaan, infeksi virus dan
bakteri dapat menekan system imun. Kehilangan imunitas selular terjadi pada
penyakit campak, mononucleosis, hepatitis, virus, sifilis, bruselosis, lepra,
tuberculosis militer, dan parasit.
2. Obat, trauma, tindakan kateterisasi, dan bedah
Obat
sering menimbulkan defisiensi sekunder. Tindakan kateterisasi dan bedah dapat
mnimbulkan imunokompromais. Antibiotic dapat menekan system imun. Obat
sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis
neutrofil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Kloramfenikol dapat menekan
respons antibody, sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral
maupun selular. Jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit sapat menurun
akibat pemakaian obat kemotrapi, analgesic, antihistamin, antitiroid,
antiknvulsi, penenang dan antibiotic. Steroid dalam dosis tinggi dapat menekan
fungsi sel T inflamasi.
3. Penyinaran
Penyinaran
dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis rendah dapat
menekan akticitas sel Ts secara selektif.
4. Penyakit berat
Defisiensi
imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit menyerang jaringan limfoid
seperti penyakit Hodgkin, myeloma multiple, leukemia, dan limfosarkoma. Uremia
dapat menekan system imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan
dibetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas.
Immunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare.
5. Kehilangan immunoglobulin
Defisiensi
immunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan
seperi pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan
protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM tetap normal.
Pada diare (limfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka
bakar terjadi kehilangan protein.
6. Agamaglobulinemia dengan timoma
Agamaglobulinemia
dengan timoma di sertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi.
Eosinopenia atau aplasia sel darah merah dapat pula menyertai
agamaglubolinemia.
2.3. Diagnosis
A. Antibody microbial dalam pemeriksaan defisiensi imun
Penemuan
antibody microbial telah digunakan dalam diagnosis infeksi. Antibodi tersebut
biasanya ditemukan dengan esai ELISA. Antibody terhadap S. pneumonia ditemukan
pada hampir semura orang dewasa sehat, tetapi tidak pada indicidu dengan
defisiensi imun primer. Antibodi terhadap antigen virus yang umum juga dapat
digunakan bila ditemukan ada riwayat terpajan dengan virus. Demikian juga, bila
seseorang diimunosasi, sebaiknya diperiks untuk antibody terhadap toksoid
tetanus, toksoid difteri, dan virus polio. Bila kadar antibody rendah,
sebaikmua individu dites dengan imunisasi terhadap antigen mati dan responsnya
dievaluasi 4-6 minggu kemudian.
B. Pemeriksaan in vitro
Sel B
dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibody terhadap CD19,
CD20, dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow cytometry yang dapat
menggunakan antibody monoclonal terhadap CD23 atau CD2, CD5, CD7, CD4, dan CD8.
Tes in
vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan fungsi bakterisidal, reduksi
NBT atau stimulasi produksi superoksida yang memberikan nilai enzim oksidatif
yang berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.
2.4. Pengobatan
A. Garis umum
Pengobatan
dengan penderita defisiensi imun ntara lain adalah dengan menggunakan
antibiotikantiviral yang tepat, pemberiaan pooled human immunoglobulin yabg
teratur. Transplantasi sumsum tulang dari donor dan resipien yang memiliki
hubungan genetic yang cocok telah dilakukan dengan hasil yang baik pada
beberapa kasus. Transplantasi timus fetal telah pula dilakukan pada aolasi
timus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat transplantasi yaitu bila jaringan
transplantasi menyerang sel pejamu-graft versus-host (GVH) reaction. Iradiasi
kenenjar getah bening total kadang memberikan hasil yang lebih baik dibanding
iradiasi seluruh tubuh dalam mengontrol reaksi GVH.
B. Tujuan pengobatan
Tujuan pengobatan umumnya adalah untuk mengurangi
kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengan penyakit menular,
memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotic/antiviral yang
benar, imunisasi aktif atau pasif memungkinkan dan memperbaiki komponen system
imun yang defektif dengan transfer pasif atau transplantasi.
C. Pemberian globulin gama
Globulin
gama diberikan kepada penderita dengan defisiensi Ig tertentu (tidak pada
defisiensi IgA)
D. Pemberian sitokin
Pemberian
infuse sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF, dan IFN-y kepada subyek dengan
penyakit tertentu.
E. Transfuse
Transfuse
diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subyek dengan defiesiensi fagosit dan
pemberian transfeksi dengan gen adonesin deaminase (ADA) untuk mengobati ACID.
F. Transplantasi
Transplantasi
timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk memperbaiki
kompetensi imun.
G. Obat antivirus
Ada beberapa
strategi yang dapat di gunakan dalam pengembangan obat efektif. Inhibitor
protease virus sekarang digunakan untuk mencegah proses protein precursor
menjadi kapsid virus matang dan protein core. Terapi dewasa ini menggunakan
kombinasi tiga obat yang terduru atas oritease inhibitor dengan 2 inhibitor
reserve transcriptase yang terpisah. Hal itu digunakan untuk menurunkan kadar
RNA virus dalam plasma menjadi sanat rendah untuk lebih dari satu tahun. Perlu
pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya resistensi. Resistensi terhadap
inhibitor protease dapat terjadi setelah pemberian beberapa hari. Resistensi
terhadap zidivudin (azidotimidin) dapat terjadi setelah pemerian beberapa
bulan. Untuk resistensi terhadap zudovudin, diperlukan 3 sampai 4 mutasi dalam
reverse trankriptase virus, tetaapi satu mutasi saja sudah dapat mnimbulkan
resistensi terhadap inhibitor protease.
H. Vaksinasi
Pengembangan
waksin untuk penyebaran AIDS merupakan penelitian yang di prioritaskan para
ahli imunologi. Dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS masih belum dapat
dikembangkan.
I. Terapi genetic
Terpi gen
somatic menunjukkan harapan dalam terapi penyakit genetic. Prosedur tersebut
antara lain dilakukan dengan menyisipkan gen normal ke populasi sel yang
terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan bahwa limfosit T perifer
mempunyai kemampuan terbatas untuk berproliferasi. Untuk pengobatan jangka
panjang akan diperlukan penyisipan gen ke sel asal sumsum tulang yang
pleuripoten. Namun hal tersebut masih sulit untuk dilakukan dan diperlukan
studi lebih lanjut.
J.
Terapi potensial
AIDS disebabkan oleh berbagai virus varian
retrovirus HIV yang tergolong virus lenti, oleh karena menimbulkan penyakit
dengan perkembangan lambat. Virus merupakan virus RNA yang memiliki enzim unik,
reverse transciptase yang diperlukan untuk sintesis dsDNA spesifik dari genom
viral RNA. DNA baru diintegrasikan dalam genom sel terinfeksi dan banyak yang
tetap laten dalam sel. Bila diaktifkan, DNA digunakan sebagai tempat RNA yang
diperlukan untuk memproduksi virus. Virus dilepas dipermukaan sel dan envelop
virus dibentuk dari membrane sel pejamu,
diubah oleh insersi glikoprotein virus.
Bab 3
Penutup
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa defisiensi imun atau
immunodefisiensi adalah salah satu gangguan imunitas, dimana system kekebalan
tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena satu atau lebih komponen system
imun tidak aktif. Defisiensi imun dibagi atas tiga bagian yaitu, defisiensi
imun non spesifik, system imun spesifik, dan defisiensi imun didapat /
sekunder. Diagnosisnya bisa dilakukan dengan pemeriksaan defisiensi imun
(antibody microbial) dan pemeriksaan in vitro. Sedangkan pengobatannya bisa
dilakukan dengan berbagi cara, diantaranya adalah memberikan penjelasan secara
garis umum dan tujuan pengobatannya, pemberian globulin gama, pemberian
sitokin, tranfusi, transplantasi, obat antivirus, vaksinasi, terapi genetic,
dan terapi potensial.
Sebelum
dilakukan pengobatan, sebaiknya dilakukan dahulu penanganan lanjutan seperti
pemeriksaan hemoglobin, pemeriksaan darah tepi, menghitung trombosit,
menghitung jumlah leukosit total. Pengobatan ini dilakukan untuk mengurangi
kejadian dan dampk infeksi seperti menjauhi subjek dengan penyakit menular,
memantau penderita terhadap infeksi.
Daftar Pustaka
Radji, Maksum, 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT. ISFI.
Baratawidjaja, G.
Karnen dan Rengganis, Iris, 2010. Imunologi
Dasar Edisi ke-9. Jakarta. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
No comments:
Post a Comment