VIROLOGI
HIV/AIDS
Disusun
Oleh:
Dinda
Retno Sya’bani
16.0626.0804.03
PROGRAM
STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA
SAMARINDA

KATA
PENGANTAR
Puji
syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan. Ringkasan
materi ini bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam pemahaman tentang “HIV/AIDS”.
Saya sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
menyusun materi ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif
sangat saya harapkan demi kesempurnaan materi ini. Saya mengucapkan terima
kasih kepada bapak atas ide dan sarannya, serta menilai dan memeriksa makalah
ini. Dan pada akhirnya, semoga materi ini mendapatkan keridhaan dari Allah SWT
dan dapat memberikan manfaat bagi saya dan kepada semua pembaca.
Samarinda,
11 Juni 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................. 1
B. Tujuan............................................................................................... 3
C. Prinsip............................................................................................... 3
D. Manfaat............................................................................................ 4
BAB
II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian......................................................................................... 5
B. Epidemiologi.................................................................................... 6
C. Etiologi............................................................................................. 8
D. Pathogenesis..................................................................................... 9
E. Patofisologi...................................................................................... 13
F.
Siklus Hidup HIV............................................................................ 16
G. Tipe
HIV.......................................................................................... 17
H. Cara
Penularan HIV/AIDS.............................................................. 18
I.
Gejala dan Karakteristik Klinis........................................................ 19
J.
Komplikasi....................................................................................... 21
K. Pemeriksaan
Penunjang.................................................................... 23
L. Tata
Laksana HIV............................................................................ 24
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 26
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................. 27
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome)
dapat di artikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi oleh Virus HIV (Human
Immunodeviciency Virus) yang termasuk family Retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV. AIDS merupakan satu satunya jenis penyakit yang paling
menakutkan hingga saat ini. Penyakit ini bukanlah terdiri dari penyakit jenis
tertentu, melainkan merupakan penyakit yang menyerang zat kekebalan tubuh
(antibody) manusia sehingga berbagai macam bakteri dan virus penyakit bisa
dengan mudahnya masuk kedalam tubuh manusia karena hilangnya zat antibody tadi.
Akhirnya bisa dibayangkan, segala jenis penyakit bisa hinggap dalam tubuh kita.
AIDS
berasal dari virus HIV (Human
Immunodeviciency Virus). Konon virus ini berasal dari simpanse Afrika yang
tertular kepada tubuh seorang gay yang berprofesi sebagai pramugara dan sering
berganti ganti pasangan seks. Hal ini terjadi karena kemiripan DNA antara
manusia dan simpanse sebesar 98%. Namun hingga saat ini, ini masih menjadi
pembicaraan para ahli di dunia. Yang pasti perkembangan AIDS ini sendiri hingga
saat ini terus mengalami peningkatan serius termasuk Indonesia sendiri. Ini
membuat badan kesehatan dunia WHO semakin gencar melakukan kampanye anti AIDS.
Masalah
AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara diseluruh
dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha
di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak
ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagi klinis
secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara,
krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan
perawatan untuk individu yang terinveksi HIV.
Kasus
pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari
beberapa literature sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi
surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel jaringan
potong beku dan serum dari seseorang pria berusia 15 tahun di St. Louis,
Amerika Serikat, yang dirawat dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminati
dan agresif pada 1968, menunjukkan antibody HIV positif dengan Western Blot dan
antigen HTV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi keluar negeri
sebelumnya, sehingga diduga penularan berasal dari orang lain yang juga tinggal
di Amerika Serikat pada tahun 1960-an atau lebih awal.
Virus
penyebab AIDS didentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu
itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo menemukan
virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III. Sedangkan tes
untuk memeriksa antibody terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia pada
tahun 1985. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan
HIV/AIDS) lebih tidak dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi,
sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.
Kasus
pertama AIDS di Indonesia di laporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan
tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum
itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat
sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan
positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang pada saat itu dilakukan di Amerika
Serikat, hasilnya negative sehingga tidak dilaporkan sebagai kasusu AIDS. Kasus
kedua inveksi HIV ditemukan pada bulan maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo,
pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non progessor, artinya kondisi
kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan
sudah di konfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.
Pada
umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hamper sama dengan
infeksi virus lainnya. Namun, berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke
rumah sakit menunjukkan adanya perbedaan respons imunitas (CD4). Hal tersebut
menunjukkn terdapat factor lain yang berpengaruh, dan factor yang diduga sangat
berpengaruh dalam stress. Stress yang dialami pasien HIV menurut konsep
psikoneuroimunologis, stimulus akan melalui sel astrosit pada kortikal dan
amigdala pada system limbic berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan
menghasilkan CRF (corticotrophin
releasing factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (adrenal corticotropic hormone) untuk mempengaruhi kelenjar korteks
adrenal agar menghasilkan kortisol. Kortisol ini bersifat immunoeppressive terutama pada sel zona fasikulata. Apabila stress
yang dialami pasien sangat tinggi maka kelenjar adrenal akan menghasulkan
korisol dalam jumlah besar sehingga dapat menekan system imun (Apasou dan
Sitkorsky, 1999), yang meliputi aktivitas APC (Makrofag); Th-1 (CD4); sel
plasma; IFN; IL-2; IgM-IgG, dan Antibodi HIV.
B.
Tujuan
Untuk mengetahui
Anti-HIV pada darah Seseorang
C.
Prinsip
Suatu campuran
HIV-antigen menggabungkan enzim horsaedish peroxidase (HRP) yang bertindak
sebagai pengubung antara tetrabenzidin metal (TMB) dengan peroxidase sebagai
sitrat. Setelah penyelesaian Assay, perubahan warna yang menandai adanya
antibody HIV-1, HIV-2, HIV-1 grup O. Jika kelak ada perubahan warna yang
terjadi berarti tidak ada antibody HIV-1, HIV-2, HIV-1 grup O. sumur sumur
ELISA yang di tempeli dengan campuran HIV antigen antara lain HIV-1 p24, HIV-1
gp 160, HIV-1 p27 70 peptida dan HIV-2 260 peptida) asam amino 592-603.
D.
Manfaat
Manfaat dari laporan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menambah
referensi tentang pentingnya pengetauan mengenai HIV/AIDS dalam pembentukan
sikap mereka terhadap pengidap HIV/AIDS.
2. Menjadi
dasar utnuk menentukan penanganan yang tepat dalam menciptakan lingkungan
konsdusif bagi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) termasuk sikap masyarakat terhadap mereka.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian


Virus HIV adalah
retrovirus yang termasuk dalam family
lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang
panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginveksi tubuh dengan periode
inkubasi yang panjang (klinik laten), dan terutama menyebabkan munculnya tanda
dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan system imun dan
menghancurkannya. Hal tersebut terjadi denan menggunakan DNA dari CD4+ dan
limfosit untuk mereplikasi. Dalam prose situ, virus tersebut menghancurkan CD4+
dan limfosit.
Secara
structural, morfologi bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi
pembungkus lemak yang melingkar melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian
RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan structural. 3
gen tersebut adalah gag, pol dan env. Gag
berarti group antigen, pol mewakili
polymerase, dan env adalah
kepanjangan dari envelope (Hoffman, Rockhstroh, Kamps, 2006). Gen gag mengkode proten inti. Gen pol mengode komponen structural HIV yang
dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi
virus yaitu, rev, nef, vif, vpu, dan vpr.
B. Epidemiologi


Namun, infeksi
HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok
resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha
berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana
persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin
meningkat. Beberapa bai yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan
tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.
Sejak 1985
sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar
odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus
baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika
suntik. Sampao dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan. Jumla itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya.
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia
yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey
yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja
seks komersial (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996
menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan
pada tahun 2000 menunjukkan ngka infeksi HIV cukup tinggi di lingkungan pekerja
seks komersial (PSK) di Merauke yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5%
di Jawa Barat.
Fakta yang
paling mengkhawatirkan adla bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata
pada pengguna narkotika. Adalah sebagian besar odha yang merupakan pengguna
narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia
produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken
home dan kaya juga tampaknya seakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group) tampaknya lebih menonjol.
Pengguna
narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau
bibit bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah
penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim digunakan oleh
sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntuk dipakai bersama antara 2
sampai 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS
Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukan peningkatan kasus indeksi HIV pada
pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun
1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001.
Bahkan suatu survey disebuah kelurahan di Jakarta Pusat yang idlakukan oleh Yayasan
Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HTV.
Surveilens pada
donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indicator untuk
menggambarkan infeksi HTV/AIDS pada masyarakat umum. Jika pada tahun 1990 belum
ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka
pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya semakin lama
semakin meningkat. Presentasi kantung darah yang dinyatakan tercear HIV adalah
0,002% pada periode 1992/1993; 0,003% pada periode 1994/1995; 0.004% pada
periode 1998/1999 dan 0,16% pada tahun 2000.
Prevalensi ini
tentu perlu di tafsirkan dengan hati hati, karena sebagian donor darah berasal
dari tahanan di lembaga permasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di
rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HTV. Saat
ini, tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara. Survey yang
dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik Keluarga Berencana,
Puskesmas, dan Rumah Sakit di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa
6 (1,12%) ibu hamil 547 orang bersedia menjalani tes HIV tenyata positif
terinfeksi HIV.
C. Etiologi
HIV ialah
retrovirus yang disebut lymphadenophaty
associated virus (LAV) atau human
T-cell leukemia virus 111 (HTLV-111) yang juga disebut human T-cell lymphotrophic virus (retrovirus). LAV ditemukan oleh
Montagnier dkk pada tahun 1983 di Prancis, sedangkan HTLV-111 ditemukan oleh
Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata
banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau
afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa menimbulkan
penyakit. Nama lain virus tersebut adalah HIV.
HIV terdiri atas
HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri atas dua untaian RNA dalam inti
protein yang dilindungi envelope
lipid asal sel hospes. Virus AIDS bersifat limpotropik khas dan mempunyai
kemampuan untuk merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper
atau limfosit pembawa factor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan
jumlah limfosit T-helper secara progresif dan menimbulkan imunodefisiensi, yang
selanjutnya terjadi infeksi sekuder atau oportunistik oleh kuman, jamur,
![]() |
virus, dan parasit serta neoplasma.
![]() |
Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, virus tersebut akan berada dalam tubuh korban selama seumur hidup. Badan penderita akan mengalami reaksi terhadap invasi virus AIDS dengan jalannya membentuk antibody spesifik, yaitu antibody HIV yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara yang biasa sehingga penderita tetap akan merupakan individu yang infektif dan merupakan bahaya yang dapat menularkan virusnya pada orang lain disekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS hanya sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan tetapi hanya pada beberapa orang perjalanan sakit dapat berlangsung dan berkembang menjadi AIDS yang full-blown.
D. Pathogenesis
Limfosit CD4
merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekuk permukaan CD4. Limfodit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah
fungsi imunologis yang penting. Hiangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respons imun yang
![]() |
progresif.
![]() |
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen – presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah kuning maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang menekspresikan virus dijaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangkan viremia adakah peningkatan sel limfosit CD8+ menyebabkan control optimal terhadap replikasi HTV. Replikasi HIV berapa pada keadaan “ready-state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Factor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga pejalanan kekebalan tubuh pejamu adalah heterogenitas kapasitas repika virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.
Antibody muncul
di sirkulas dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat
dideteksi pertama setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level “steady state”. Walaupun antibody ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat infeksi virus, namun ternyata
dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibody
dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi
yang diperantai antibody tidak dapat terjadi.
Limfosit CD4+
merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi
imunlogis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons
imun yang progresif.
Kejadian infeksi
HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency
Virus (STV). STV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa
vagina. Virus dibawa olrh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening
regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam
5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang menekspresikan virus di
jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan
pembentukan respons imun spesifik. Konsoiden dengan menghilangnya viremia
adalah peningkatan sel limfosit CD8+ menyebabkan control optimal terhadap
replikasi HTV. Replikasi HIV berada pada keadaaan “steady-state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan
relative stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Factor
yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga
perjalanan kekebalan tubuh pejamu adalah heterogenitas kapasitas replikatif
virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.
Antibody muncul
di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi namun secara umum dapat
dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level “steady-state”. Walaupun antibodu ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun
tenyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi
oleh antibody dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya
mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensi berubaj sehingga
netralisasi yang diperantarai antibody tidak dapat terjadi.
Setelah infeksi,
terdapat periode waktu yang disebut fase eklips (7-10 hari), selama waktu itu
komplemen virus tidak mudah dideteksi. Studi telah menunjukkan bahwa sebuah
virus dapat memulai infeksi da bahwa infeksi yang telah terjadi dapat muncul
dari sebuah focus pada sel T CD4+ mukosa yang terinfeksi. Setelah
fase eklips, sel yang terinfeksi virus berseta virus bebas sampai di kelenjar
getah bening. Pada kelenjar getah bening, terjadi interaksi sel sel imun, sel T
CD4+ yang telah terinfeksi virus atau dengan sel penyaji antigen
seperti sel dendritik, yang telah mengambil dan menginternalisasi virus. Sel B
juga dapat berpartisipasi dalam interaksi interaksi ini. Setelah masuk ke dalam
system limfoid, virus dengan cepat dapat menyebar keseluruh tubuh melalui
jaringan limfoid.
Tingkat infeksi
sel T CD4+ bergantung pada jumlah sel sel ini didalam suaru area limfoid:
misalnya, pada jaringan limfoid terkait usus, yang kaya sel-sel CD4+, 80% sel
sel ini dapat dihabisi dalam 20 hari pertama infeksi HIV. Dan meskipun pada
tingkat viremia tertinggi, jumlah sel T CD4+ rendah, jumlahnya kemudian kembali
ke tingkat normal. Sayangnya, virus yang meloloskan diri dari system imun
menciptakan wadah seluler virus di banyak sel berbeda, tidak hanya pada sel T
CD4+, melainkan juga pada monosit makrofag, sel dendritikm dan sel otak
mikrogliam yang juga merupakan CD4+.
Virus dapat
tetap dorman di wadah ini dalam periode waktu yang lama, seingga lolos dari
deteksi imun. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan situasi ketika virus dapat
menyebabkan infeksi persisten yang pada akhirnya mendeplesi sel sel yang
terindeksi virus. Penyebab deplesi tersebut beragam; sel sel yang terinfeksi
dieleminasi oleh sel T sitotoksik yang dirancang untuk mengelminasi setiap sel
yang terinfeksi oleh virus. Proses penonjolan virus juga dapat menghancurkan
sebuah sel, dan apoptosis yang diinduksi oleh virus turut menyebabkan deplesi
selm sehingga ketika deplesi meluas, sel yang terdeplesi tidak dapat digantikan
dengan cukup cepat.
Meskipun beragam
sel CD4+ terkena oleh onfeksi, sel yang paing banyak terkena adalah limfosit T helper; deplesi sel T helper pada akhirnya menciptakan defisiensi imun berat yang khas
yang terkait dengan infeksi HIV. Peran sel T
helper dalam respons imun, baik humoral maupun yang di perantarai oleh sel,
sangat penting, dan deplesi populasi sel ini mempengaruhi kedua cabang system
imun. Produlsi antibody terhadap banyak antigen menjadi terganggu karena tidak
adanya bantuan sel T dalam mengirimkan sinyal ke sel B; imunitas yang
diperantarai oleh sel juga terganggu oleh kurangnya sel T helper dan sitokin yang di sekresikannya dalam mengarahkan respons
imun. Deplesi sel T helper
menciptakan tentara imun yang kekurangan semua petugas yang memerintah dan yang
berpengalaman, membuat tentara imun beberapa dalam kekacauan.
E.
Patofisiologi
Dalam tubuh
odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup dia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang
yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hamper semua
orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan system kekebalan tubuh yang juga bertahap.

Seiring dengan
makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat
infeksi oportunitik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, dan
herpes. Tanpa pengobatan ARV, walaupun sekama beberapa tahun tidak menunjukkan
gejala, secara bertahap system kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat,
pasien masuk tahap AIDS. Jadi disebut laten secara klinik (tanpa gejala),
sebetulnya bukan laten bila ditinjau
dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan system kekebalan
tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan
infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di
kelenjar getah bening, bukan
diperedaran darah tepi.
Pada waktu orang
dengan infeksi HIV masih terasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada
waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat in disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten.
Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bias mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4
sekitar 10 sel setiap hari.
Perjalanan
penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus Hepatitis C. infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika an biasanya tidak ditemukan
pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik
berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Makin lama
seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan
tuberculosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh
kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan
reaktivasi virus didalam Limvosit T. akibatnya perjalanan penyakit biasanya
lebih progresif. Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna
narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS dr Cipto Mangunkusumo
pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika dengan
kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm3. Ternyat 56,24% mempunyai jumlah
virus dalam darah (virus load) yang melebihi 55.000 kopi/ml, artinya penyakit
infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik.
1.
Mekanisme Sistem Imun Normal
System imun melindungi tubuh dengan
cara mengenali bakteri atau virus yang msuk ke dalam tubuh, dan bereaksi
terhadapnya, ketika system imun melemah atau rusak oleh virus seperti virus
HIV, tubuh akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik. System imun terdiri
atas organ dan jaringan limfoid, termasuk di dalamnya sumsum tulang, timus,
nodus limfa, tonsil, adenoid, apendiks, darah.
a.
Sel
B.
fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antibody humoral. Masing masing sel
B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai kemampuan untuk menyekresi
antibodu spesifik. Antibody bekerja dengan cara membungkus antigen, membuat
antigen lebih mudah untuk difagositosis (proses penelanan dan pencernaan
antigen oleh leukosit dan makrofag) atau dengan membungkus antigen dan memicu
system komplemen (yang berhubungan dengan respons inflamasi).
b.
Limfosit
T.
Limfosit T aatau sel T mempunyai 2 fungsi utama, yaitu regulasi system imun dan
membunuh sel yang menghasilkan antigen target khusus. Masing masing sel T
mempunyai marker permukaan seperti CD4+, CD8+, dn CD3+ yang membedakannya
dengan sel lain. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktifasi sel B, sel killer, dan makrofag saat terdapat
antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau
bakteri seperti kanker
c.
Fagosit
d.
Komplemen
F.
Siklus Hidup HIV
Sel
pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang sangat pendek atau
singkat. Hal ini berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel pejamu baru
untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 miliar virus dihasilkan setiap harinya.
Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membrane mukosa dan
kulit selama 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan
membuat jalur ke nodus limfa dan kadang kadang ke pembuluh darah perifer selama
5 hari setelah paparan, ketika replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus
hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1.
Masuk dan Mengikat
2.
Reverse
transkripstase
3.
Replikasi
4.
Budding
5.
![]() |
Maturasi
|
G.
Tipe HIV
Ada
dua tipe HIV yang menyebabkan AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi
lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype dari HIV-1
telah ditemukan dalam daerah geografis yang spesifik dan kelompok spesifik
resiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtype yang berbeda. Berikut
adalah subtype HIV-1 dan distribusi geografisnya:
1.
Subtype A : Afrika Tengah
2.
Subtype B : Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Thailand
3.
Subtype C : Brazil, India, Afrika Selatan
4.
Subtype D : Afrika Tengah
5.
Subtype E : Thailand, Afrika Tengah
6.
Subtype F : Brazil, Rumania, Zaire
7.
Subtype G : Zaire, Gabon, Thailand
8.
Subtype H : Zaire, Gabon
9.
Subtype O : Kamerun, Gabon.
Subtype C sekarang ini terhitung lebih
dari separuh dar seua infeksi HIV baru di seluruh dunia.
H.
Cara Penularan HIVAIDS
Virus
HIV menular melalui 6 cara penularan, yaitu:
1.
Hubungan
seksual dengan pengidap HIV/AIDS.
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan dapat menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air
mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis,
dubur, atau mulut ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga
dapat terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang dapat
menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000)
2.
Ibu
pada janinnya. Penularan HIB dari ibu pada saat
kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01%-0,7%. Jika
ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi
sebanyak 20-35%, sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas pada ibu, kemungkinan
mencapai 505 (PELKESI, 1995). Penukaran juga terjadi selama proses persalinan
melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa
bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V., 2004).
3.
Darah
dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS. Sangat cepat
menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar
keseluruh tubuh.
4.
Pemakaian
alat kesehatan yang tidak steril. Alat pemeriksaan
kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat alat lain yang darah, cairan
vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi bias menularkan HIV (PELKESI, 1995)
5.
Alat
alat untuk menorah kulit. Alat tajam dan runcing seperti
jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan
sebagainya dapat menularkan HIV karena alat tersebut mungkin dipakai tanpa
disterilkan terlebih dahulu.
6.
Menggunakan
jarum suntuk secara bergantian. Jarum suntik yang
digunakan di asilitas kesehatan maupun yang digunakan oleh pengguna narkoba (injecting drug user, IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntuk, para pemakai IDU umumnya secara
bersama sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos
obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan. HIV tidak menulai melalui
peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara
bersama sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan
penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan social lainnya.
I.
Gejala dan Karakteristik Klinis
Gejala
awal infeksi HIV bervariasu dari satu individu ke individu yang lain. Beberapa
orang tidak mengalami gejala apapun ketika mereka pertama kali terinfeksi oleh
HIV. Namun, yang lebih umum, gejala seperti flu termasuk sakit kepala, mual,
nyeri tenggorok, demam, diare, dan pembesaran kelenjar getah bening muncul.
Penyakit ini disebut sindrom HIV akut,
dapat disalahartikan dengan infeksi virus sederhana lain dan biasnya
berlangsung dari 1 minggu hingga 1 bulan. Pada stadium ini, viremia sangat
tinggi. Ketika virus menyebar melalui system limfatik; terjadi juga penurunan
jumlah sel T CD4+ secara cepat.
Respons
imun pejamu terhadap virus secara drastic menurunkan jumah virus tersebut, dan
individu yang terkena memasuki stadium latensi
klinis. Sayangnya, virus tidak seluruhnya di eleminasi dan virus masih ada,
meskipun dalam jumlah yang lebih rendah, di plasma dan jaringan limfoid. Selama
periode ini, pasien dapat tidak bergejala, dan jumlah sel T CD4+ kembali mendekati
nilai normal; namun, transmisi virus dari satu orang ke orang lain masih
terjadi selama false latensi klinis, dan virus masih aktif menginfeksi sel
pejamu. Fase latensi klinis dapat berlangsung selama beberapa tahun setelah
infeksi awal; selama periode ini, beberapa orang masih tetap tak bergejala,
sementara orang lainnya dapat mengalami infeksi rinfan atau gejala kronis
ringan. Pada akhirnya, ketika virus terus bermultiplikasi dan menghancurkan sel
imun, seperto pada bentuk defisiensi imun yang lain, terjai infeksi
oportunistik, dan individu penderitanya dapat mengalami kondisi yang
didefinisikan sebagai AIDS. Kandidiasis oral (sariawan) adalah infeksi
oportunistik yang biasa terjadi pada pasien AIDS.
Ketika
pasien mengalami perkembangandari infeksi HIV menjadi gelaja klinis yang
mendefinisikan AIDS, viremia juga meningkat secara drastic; kejadian bentuk
kanker tertentu seperti sarcoma Kaposi, dan limfoma juga meningkat. Sistem imun
bukan satu satunya system yang diserang oleh HIV; virus HIV juga dapat
menginfeksi system saraf, terutama otak. Misalnya, ensefalopati metabolic yang
disebut dimensia kompleks AIDS dapat diindukasi oleh infeksi HIV pada miroglia
otak dan makrofag. Kondisi ini bermanifestasi setelah beberapa tahun psien
terinfeksi HIV dan dicirikan oleh berbagai gangguan neurologis termasuk
gangguan fungsi motorik, abnormalitas kognitif, perubahan perilaku, lupa,
kelelahan, kebingungan, disorientasi, dan pada akhirnya, dimensia, kelemahan
ekstremitas bawah dan kehilangan control pergerakan tubuh total.
Gejala
dini yang sering di jumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupaii flu
biasa. Sebelumnya tes serologi positif, gejala dini lainnya berupa penurunan
berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula, keringat malam, diare kronis,
kelelahan, limfadenopati. Beberapa alhi klinik telah membagi beberapa fase
infeksi HIV, yaitu:
1.
Infeksi
HIV stadium pertama. Pada fase
pertama terjadi pembentukan antibody dan memungkinkan juga terjadi gejala yang
mirip influenza atau terjadi pembekalan kelenjar getah bening.
2.
Persisten
generalized limphadenopati. Terjadi pembengkakan kelenjar
limfe di leher, ketiak, inguinal, dan keringat pada waktu malam atau kehilangan
berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.
AIDS
relative complex (ARC). Virus sudah menimbulkan
kemunduran pada system kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi
yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Di sini penderita
menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya dan berlangsung lama, kadang kadang lebih dari satu tahun, ditambah
dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4.
Full
blown AIDS. Pada fase ini system kekebalan tubuh sudah
rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal
sewaktu waktu. Sering terjadi radang paru pneumonistik, dan gangguan pada
system saraf pusat sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita
bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.
J.
Komplikasi
1.
Lesi Oral
Lesi oral
terjadi karena kandidia, herpes simpleks, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
heridonitis human immunodeficiency virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan, dan
cacat.
2.
Neurologic
a.
Kompleks dimensia AIDS karena serangan
langsung human immunodeficiency virus (HIV)
pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
b.
Ensefalopati akut, karena reaksi
terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit,
meningitis/ensefalitis. Dengan efek sakit kepala, malaise, demam, paralise
total/parsial.
c.
Infark serebral kornea sifilis
meningovaskular, hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
d.
Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh
serangan HIV.
3.
Gastrointestinal
a.
Diare karena bakteri dan virus,
pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b.
Hepatitis karena bakteri dan virus,
limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual
muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
c.
Penyakit anorektal karena abses dan
fistula, ulkus dan inflamasi perianal sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal gatal serta diare.
4.
Repirasi
Infeksi karena
pneumokistik Carinii, sitomegalovirus, virus influenza, pneumokokus, dan
strongiloides dengan efek napas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan dan
gagal nafas.
5.
Dermatologic
Lesi kulit stafilokokus,
virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi
scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder, dan sepsis.
6.
Sensorik
Pada
penglihatan, sarcoma Kaposi pada kongjugativa berefek kebutaan. Pada
pendengaran, terjadi otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
K.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Konfirmsi diagnosis dilakukan dengan uji
antibody terhadapa antigen virus structural. Hasil positif palsu dan negative
palsu jarang terjadi
2.
Untuk penularan vertical (antibody HIV
positif) dan serokonversi (antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan
RNA HIV harus diperiksa. Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3.
Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4 diperiksa
secara teratur (setiap 8-12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum pengobatan
menentikan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan pasca pengobatan
(didefinisikan sebagai VL <50 cd4="" dan="" kemungkinan="" komplikasi="" kopi="" menentukan="" menghitung="" ml="">200 sel/mm3 menggambarkan resiko
yang terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang dasar yang diindkasikan oleh
sebagai berikut.50>
Semua pasien CD4 <200 mm="" sel="" sup="">3200>
Antigen
permukaan HBV* Rontgen
toraks
Antibody ini HBV+ RNA HCV
Antibodi HCV Antigen
kriptokokus
Antibody IgG HAV OCP tinja
Antibody
toksoplasma
Antibody IgG
sitomegalovirus CD4 <100 mm="" sel="" sup="">3100>
Serologi
treponema PCR
sitomegalovirus
Rontgen toraks Funduskopi
dilatasi
Skrining GUM EKG
Sitologi serviks
(wanita) kultur darah
mikrobakterium
Keterangan: HAV,
hepatitis A; HBV, hepatitis B; HCV, hepatitis C; *Antigen/antibody e HBV dan
DNA HBV jika positif; *Antibodi permukaan HBV jika negative dan riwayat
imuniasi.
Jika terdapat
kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat suntik dan pasien dari
daerah endemic tuberculosis.
4.
ELISA (encyme-linked immunosorbent assay) adalah metode ang digunakan
menegakkan diagnosis HIV dengan sensitifitasnya tinggi, yaitu sebesar 98,1
-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
5.
Western blot adalah metode yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi,
yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan
waktu sekitar 24 jam.
6.
PCR (polumerase
chain reaction) digunakan untuk:
a.
Tes HIV pada bayi, karena zat
antimaternal masih dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu
yang menderita HIV akan membentuk zat ekebalan untuk melawan penyakit tersebut.
Zat kekebalan itu lah yang diturunkan kepada bayi melalui plasenta yang akan
mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah olah sudah ada infeksi pada bayi
tersebut. (Catatan: HIV seing merupakan deteksi dari zat anti HIV bukan HIVnya
sendiri).
b.
Menetapkn status infeksi individu yang
seronegatif pada kelompok berisiko tinggi
c.
Tes pada kelompok beresiko tinggi
sebelum terjadi serokonversi
d.
Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA
mempunyai sensitifitas rendah untuk HIV-2
7.
Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi
pada kelompok beresiko, dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang
berbeda.
8.
Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).
L.
Tata Laksana HIV
Belum ada
penyembuhan untuk AIDS. Jadi perlu dilakukan pencegahan human immunodeficiency virus (HIV) untuk mencegah terpajannya,
dapat dilakukan dengan:
1.
Melakukan abstinesnsi seks atau
melakukan hubungan kelamin dengan pasangn yang tidak terinfeksi
2.
Memeriksa adanya virus paling lambat 6
bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi
3.
Menggunakan pelindung jika berhubungan
denan orang yang tidak jelas status HIV-nya
4.
Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato,
dan sebagainya.
5.
Mencegah infeksi ke janin/bayi baru
lahir.
Apabila terinfeksi HIV maka pengendaliannya, yatu:
1.
Pengendalian infeksi oportunistik,
bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan memulihkan infeksi oportunistik,
noscokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien d lingkungan
perawatan kritis.
2.
Terapi AZT (azidotimidin), disetujui FDA
(1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadapAIDS. Obat ini
menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim pembalik
transcriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya ≥3. Sekarang,
AZT tersedia untuk pasien HIV posititd asimtomatik dan sel T4>500.
3.
Terapi antiviral baru. Beberapa
antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus/memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat obat ini
adalah:
a.
Didanosine
b.
Ribavirin
c.
Diedoxyxytidine
d.
Recombinant C4 dapat larut
4.
Vaksin dan rekonstruksi virus. Upaya
rekostruksi imun dan vaksin dengan agens tersebut seperti interferon.
5.
Penyuluhan untuk menghindari alcohol dan
obat terlarang, makan makanan sehat, menghindari stress, gizi yang kurang,
alcohol, dan obat obatan yang mengganggu fungsi imun.
6.
Menghindari infeksi lain, karena infeksi
itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat replikasi HIV
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat
penulis simpulkan mengenai makalah ini adalah:
1. HIV
(Human ImmunoDevesiensi) adalah virus yang hanya hidup dalam tubuh manusia,
yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acguired ImmunoDeviensi
Syndromer) adalah kumpulan gejala menurunnya gejala kekebalan tubuh terhadap
serangan penyakit dari luar.
2. Tanda
dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan
umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3
sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV
tersebut.
3. Hingga
saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang
dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS yang ada hanyalah pencegahannya
saja.
DAFTAR
PUSTAKA
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and
World Health Organizations (WHO). AIDS Epidemic Update. 2009. Diakses pada 2012
Olson. Rittenhouse. Kate., Nardin. De. Ernesto.,
2014. Imunologi dan Serologi Klinis Modern untuk Kedokteran dan Analis
Kesehatan (MTL/CLT). Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Irianto Koes. 2014. Bakteriologi Medis, Mikologi
Medias, dan Virologi Medis (Medical Bacteriology, Medical Micology, and Medical
Virology). Bandung. Penerbit Alfabeta.
Jean Pierre Attain. 1988. Laboratory Diagnosis of
HIV Infections, First Asia-Pasific Congress of Medical Virology, Singapore.
Kuswiyanto. 2015. Buku Ajar Virology untuk Analis
Kesehatan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nurachmah. Elly. Mustikasari., 2009. Factor Pencegahan
HIV/AIDS Akibat Perilaku Bersiko Tertular pada Siswa SLTP
Terimakasih kak Artikel HIV Aids nya sangat membantu dan mudah dipahami
ReplyDeleteAids adalah sekumpulan gejala yang diakibatkan oleh menurunya system kekebalan tubuh manusia karena terinfeksi HIV
Izin kutip di artikel Kontribusi Barang Pertambangan Bagi Dunia Kesehatan
ReplyDeleteTerimakasih kak artikelnya, kunjungi: Sebanyak 97 Persen BPJS Kesehatan Paser Cover Warganya
ReplyDelete